Gus Miek begitu penasaran dengan sosok Maulana Habib Muhammad As-Saqqaf, Pasuruan. Bersama pengikutnya yang bernama Ibnu Katsir Siroj dan Nototawar, Gus Miek pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Muhammad As-Saqqaf berada.
Saat itu adalah hari Ahad. Mereka berangkat pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga ketemu alamatnya. Sudah ditemukan nama Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga As-Saqqaf. Hingga diputuskan “pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah dan yang jadzab!.” Sayang, akhirnya tetap tidak ketemu juga.
Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada Kiai Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah di depan rumah, Kiai Hamid sudah menyambut di depan pintu.
“Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa Kiai Hamid sambil memeluk Gus Miek dan mengajaknya masuk rumah. Di dalam rumah, Kiai Hamid menghadiahi kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.
“Ini Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata Kiai Hamid.
Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan salat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat kecuali Gus Miek, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis salat, keduanya menemui Kiai Hamid.
“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jumat, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kisah Kiai Hamid yang begitu gembira.
Gus Miek hanya tersenyum. Kiai Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. Kiai Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.
Gus Miek, yang tadinya mengambil biji koro yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan Kiai Hamid berubah menjadi batu akik. Sementara yang lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian Kiai Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, Kiai Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah Kiai Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.
Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad As-Saqqaf sebagaimana petunjuk Kiai Hamid. Ternyata, rumahnya tidak jauh dari rumah Kiai Hamid.
Setelah ketiganya tiba di rumah Habib Muhamad As-Saqqaf, dengan suara yang keras dan lantang tiba-tiba Habib bertanya,
“Dari mana?”
“Dari Kediri,” jawab Gus Miek.
“Mau Apa?,” tanya Habib.
“Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.
“Apa belum salat? di dalam salat kan banyak salawat dan banyak doa,” jawab Habib.
Lalu Habib berdiri menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankannya kacau balau dalam tinjauan fikih.
Usai salat, Habib mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya.
Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib kembali menuangkan sampai penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meneguk minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski demikian seolah-olah Gus Miek tidak merasakan apa-apa.
Itulah pertemuan istimewa sosok Gus Miek dengan Habib Muhammad As-Saqqaf. Gus Miek mendapatkan tegukan air kewalian dari Habib Muhammad As-Saqqaf. Begitu banyaknya Gus Miek meneguk kopi jahe yang tak terhitung banyaknya. Itulah minuman khas kewalian dari seorang habib jadzab yang membuat penasaran Gus Miek dan bahkan Gus Miek mencarinya sampai berputar-putar tanpa henti.
Selesai minum itu semua, makin tinggi kewalian seorang Gus Miek. Habib Muhammad As-Saqqaf kemudian meminta Gus Miek berdoa dan beliau mengamininya.
Pada suatu kesempatan, Gus Miek pernah dawuh:
“Mereka para kekasih Allah (wali) mempunyai keistimewaan masing-masing, kesenangan masing-masing. Dan kita juga harus mempunyai keistimewaan tersendiri, apakah kita senang membaca Al-Qur’an, membaca sholawat, apakah kita senang wiridan tertentu, apakah kita senang melakukan khataman, apakah kita senang membaca surat al-Fatihah atau surat Al-Ikhlas beberapa ribu setiap hari. Diusahakan kita mempunyai keistimewaan masing-masing yang bisa dipegang dan bisa dijadikan sebagai hal keistiqomahan. Dan amalan yang kita jadikan pegangan dan terus-terusan itu akan menimbulkan suatu keistimewaan yang sangat mulia, bahkan bisa mengundang karomah.”
Sumber: bangkitmedia.com