Saya belum pernah berjumpa dengan Kiai As’ad, tapi merasa dekat dan sayang kepada beliau melalui cerita indah nan hebat dari almarhum ayahanda H. Nadhir Muhammad. Di bulan dimana beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional, ingin saya mengenangnya melalui cerita almarhum ayah.
Pertama, “Kiai As’ad itu kiai sakti nak,” ungkapan ayah itu masih teringat jelas di benak saya. Kesaktian beliau terbukti saat almarhum ayah berkeinginan kuat melaksanakan haji namun belum memiliki bekal. Keinginan itu pun disampaikan kepada Kiai As’ad.
Maka dengan serta merta Kiai As’ad memakaikan kopiah putih ke ayah saya, sambil berucap “haji, haji”. Dan alhamdulillah setelah itu ayah saya mendapat beasiswa kuliah S2 ke Baghdad dari Kiai Idham Chalid. Dan dari situ, ayah bisa menunaikan ibadah haji.
Kedua, “Nak, ketika bapak ditahan tentara di Markas Kodim gara-gara menjadi Ketua Pemenangan Pemilu PPP tahun 1982 dan Golkar kalah waktu itu, bapak mengamalkan wiridan dari Kiai As’ad. Dan alhamdulillah selesai wiridan, langsung ada telepon dari militer pusat supaya bapak dibebaskan.”
Kalimat ini, lebih tajam tertanam di benak saya. Pasalnya, saat itu saya, kata ayah, ibu masih mengandung saya. Dan saya membayangkan betapa menderitanya ibu jika mengandung dan melahirkan saya, sementara ayah meringkuk di penjara.
Alhamdulillah, berkat wiridan yang diberi Kiai As’ad, ayah dibebaskan. Sebuah wiridan yang ketika saya telusuri, ternyata berasal dari Syaikh Bahauddin An-Naqsyabandi.
Ketiga, yang terakhir walau masih teramat banyak kenangan yang lain, dan ini menurut saya yang paling penting. “Nak, ketika Pak Harto memberi Kiai As’ad mobil sedan karena menerima azas tunggal Pancasila, mobil itu tetap diterima untuk menjaga hubungan baik. Tapi setelah itu mobil tersebut langsung diberikan kepada orang lain.”
Kata-kata ayah tersebut menggambarkan bahwa Kiai As’ad sebagai kiai dan tokoh ikhlas berjuang untuk rakyat Indonesia. Kiai As’ad menerima mobil untuk menjaga hubungan baik antara NU dan pemerintah. Jadi, apa yang beliau lakukan bukan karena materi, apalagi jabatan. Tapi karena sayang kepada rakyat Indonesia. Ya, rasa sayang kepada sesama inilah karakter wajib yang harus dimiliki seorang wali Allah, dalam tingkatan apapun juga.
Gelar pahlawan nasional yang disematkan kepada Kiai As’ad pasti bukanlah yang dicari. Gelar tersebut tidak lain hanya busyra -kabar gembira- dari Allah, sebagaimana Syaikh ibn Athoillah Sakandari berhikmah, bahwa tanda amal seseorang diterima oleh Allah di akhirat adalah adanya “tanda gembira” di dunia. Gelar itu hanya salah satu pengingat dari Allah untuk rakyat Indonesia, bahwa Kiai As’ad memang memiliki tempat yang teramat mulia di sisi-Nya.
Penulis: KH Ahmad Gholban Aunir Rahman, Pengasuh Pondok Pesantren Putri (PPI) Zainab Shiddiq Jember Jawa Timur.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!