Mbah Moen dilahirkan di Sarang pada Jum’at Kliwon, 10 Muharam 1347 H/23 Oktober 1928 M. Ia anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Ibu Nyai Mahmudah. Saudara-saudaranya yaitu, Makmur, Mardiyah, Hasyim, dan Zahro. Semua anak pasangan Kiai Zubair dan Nyai Mahmudah meninggal dunia kecuali Mbah Moen.
Hidup di lingkungan pesantren mengharuskan Mbah Moen untuk mengaji. Meskipun ayahnya, Kiai Zubair bukanlah pengasuh pesantren, namun ia aktif mengajar di pesantren milik mertuanya, Kiai Ahmad bin Syu’aib. Kepada sang ayah, Mbah Moen mengaji berbagai disiplin ilmu agama seperti al-Jurûmiyah, al-Imrîthi, al-Fiyah, Fathal Qarîb, Fathal Wahhab, Fathal Mu’în, Jauharatu al-Tauhîd, Rahabiyah, dan Sullam al-Munawrâq. Untuk masalah Al-Qur’an-nya, Mbah Moen belajar kepada ibunya, Nyai Mahmudah. Selain kepada kedua orang tuanya, Mbah Moen belajar kepada ulama-ulama Sarang seperti Kiai Syu’aib bin Abdurrozak, Kiai Ahmad bin Syuaib, dan Kiai Imam Khalil.
Dalam mendidik Mbah Moen, Kiai Zubair tidak hanya mengajarkan ilmu agama, akan tetapi, ilmu umum pun juga diajarkan. Terlebih ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan nasioanlisme dan patriotisme. Sebab, di waktu itu, Indonesia sedang dalam kondisi dijajah Belanda, Jepang , dan dilanjutkan dengan kembalinya Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indies Civil Administration). Ketika umur Mbah Moen 4 tahun, Kiai Zubair mengajarkan menulis huruf latin, huruf hanocoroko, dan cara berbahasa Melayu. Saat umurnya 15 tahun, Kiai Zubair menyuruh Mbah Moen mempelajari koran, majalah, buku-buku penyemangat, seperti majalah “Penyebar Semangat”, buku Imam Supriadi, dan buku-buku terbitan Budi Pustaka Jakarta.
Pada tahun 1945, Kiai Zubair menyuruh Mbah Moen untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo asuhan Kiai Abdul Karim atau yang dikenal dengan Mbah Manab Lirboyo. Mbah Manab ini dikenal dengan kepakarannya dalam masalah Gramatika Arab. Kepadanya, Mbah Moen mematangkan kajian Nahwu-Sharafnya seperti al-Jurûmiyah, al-Imrithi, dan al-Fiyah. Selain belajar kepada Mbah Manab, selama di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen juga belajar kepada Kiai Mahrus Aly, Kiai Marzuki, dan Kiai Ma’ruf Kedunglo.
Saat mengaji kepada Mbah Manab, Mbah Moen dikenal dengan kealimannya. Dengan cepat sekali ia mampu menyerap semua ilmu yang ditransfer Mbah Manab kepadanya. Dari kecerdasannya ini, maka tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu santri andalan Mbah Manab dari tiga santrinya, yaitu Mbah Moen, Kiai Abdul Wahab Sulam, dan Gus Ali Bakar.
Selama nyantri di Pesantren Lirboyo, Mbah Moen tidak hanya mengaji. Namun, ia juga ikut berperang dalam memperjuangkan keutuhan NKRI yang sudah berdaulat semenjak 17 Agustus 1945. Bersama dengan Kiai Mahrus Ali dan para kiai lainnya yang dikomando dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Mbah Moen ikut berjuang melawan penjajah yang ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan misi Agreesi Militer Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947) dan Agreesi Militer Belanda II (19–20 Desember 1948.
Setelah kondisi Indonesia aman, pada 1949, Mbah Moen meminta izin kepada Mbah Manab untuk meneruskan belajarnya menuju Haramain. Dengan antusiasnya, Mbah Manab merestui keinginan Mbah Moen tersebut. Maka, berangkatlah ia menuju Haramain bersama dengan Kiai Abdurrahim ibn Ahmad dengan biaya dari kakeknya, Kiai Ahmad ibn Syuaib.
Selama di Haramain, Mbah Moen belajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum yang merupakan madarasah rintisan Ulama Jawiyyin (ulama Nusantara di Haramain). Di antara gurunya selama belajar di Haramain adalah, Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi, Syaikh Abdul Qodir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syaikh Abdullah bin Nuh al-Malaysiai, Syaikh Hasan Al-Masyath, Syaikh Yasin al-Fadani, dan Syaikh Zakaria Bela. Kepada ulama-ulama Haramain ini, Mbah Moen mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan penuh ketekunan sehingga menjadi ta’ammuq (mendalam). Karena tertarik dengan kealimannya, ada salah satu ulama Haramain yang ingin menjadikan Mbah Moen sebagai menantunya. Namun, tawaran tersebut tidak diiyakan olehnya. Mbah Moen lebih suka kembali ke Indonesia dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya.
Pada tahun 1950, Mbah Moen kembali ke tanah airnya. Kembalinya ke Indonesia ini tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengajari. Ia mengaji lagi ke berbagai ulama Nusantara seperti Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Mustofa (Leteh, Rembang), Kiai Abdul Wahab bin Hasbullah (Tambak Beras, Jombang), Kiai Abdul Wahib bin K Abdul Wahab (mantan Menteri Agama), Kiai Ma’sum Ahmad (Lasem, Rembang), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), Habib Abdullah bin Abdul Qodir (Malang), Habib Ali bin Ahmad Al-Athas, Kiai Thohir (pengasuh yayasan At-Thohiriyyah Jakarta), Kiai Ali bin Ma’sum (Jogjakarta), Kiai Abdul Hamid (Pasuruan), Kiai Muslih bin Abdur Rahman (Mranggen, Demak), Kiai Abbas (Buntet), Kiai Khudori (Tegalrejo), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Ihsan Jampes (Kediri), Kiai Abu Fadhol (Senori, Tuban), dan Kiai Abu Khoir (Jatirogo, Tuban).
Sumber: bangkitmedia.com