Saya mengenal sosok Allah yarham Kyai Habib Dimyathi Tremas jauh sebelum mondok. Menurut cerita orangtua, sejak masih muda beliau sudah menunjukkan tipikal seorang pemimpin; wibawa, tegas, penuh rasa hormat, disegani dan dedikatif.
Setelah mondok, saya membuktikan semua cerita itu. Saking wibawanya, saya hampir tak mampu dan tak punya keberanian menatap langsung (wajahnya). Saya harus mencuri kesempatan untuk bisa menatap keteduhan raut wajahnya. Tapi rasa takut dan segan itu bisa berubah saat beliau menyapa dan mengajak ngobrol. Semua menjadi cair dan ada rasa adem menyelimuti sekujur tubuh; damai dan memberi rasa tenang.
Sisi lain dari beliau, sifat kebapakan yang kental, hingga siapapun merasa diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Hal yang masih saya ingat dengan baik, beliau selalu mengajari santrinya untuk taat pada aturan, norma dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal beretika. Karena itu, saat ada seorang santri yang kena tilang polisi, meski dia anak kiai, beliau tidak memberikan pembelaan saat dimintai tolong agar si santri bisa terbebas dari tilang. Beliau dengan bijak justru menjawab permintaan itu dengan sebuah ayat,
فَأتُوا البُيُوْتَ مِنْ أبْوَابِهَا
Saat mendengar kabar wafatnya Mbah Kyai Haris, saya buru-buru bertolak ke Tremas. Kabar itu saya terima setelah seminggu guru utama saya itu wafat. Sesampai di Tremas, tentu saya harus sowan ke ndalem Mbah Habib dulu. Bersamaan dengan beberapa rombongan, saya menuju ndalem tengah. Sebelum memersilahkan tamu-tamu itu masuk, Mbah Habib memanggil saya dan bertanya,
“Wis takziyah neng kono (Ndalem Kyai Haris) durung ?” (sudah takziyah ke rumah Kyai Haris apa belum?)
“Dereng,” (belum), balas saya lirih setelah bersalaman dan menciumi tangan beliau.
“Takziyah disik !” (takziyah dulu) perintahnya kepada saya..
Dengan penuh rasa hormat saya kemudian menuju ndalem dan menemui Bu Nyai Haris untuk menyampaikan ucapan belasungkawa dan permohonan maaf karena baru bisa takziyah di hari ketujuh.
Satu hal yang paling tidak bisa saya lupa dari ingatan, ketika saya melakukan sebuah kesalahan dan kebodohan, hingga saya harus menghadap beliau. Tujuan saya menghadap untuk meminta pengampunan dan ridho atas kesalahan yang saya perbuat.
Apa yang terjadi? Saat saya sowan dan dipersilahkan duduk. Tak sepatah kata pun keluar dari beliau. Saya menunduk tak bergerak. Seluruh keringat dingin membasahi tubuh. Satu jam atau entah berapa lama saya didiamkan.
Sebuah hukuman yang pantas dan harus saya terima dengan ikhlas. Beliau memilih diam pada puncak kemarahannya agar tak keluar kata-kata bertuahnya yang bisa berdampak buruk bagi santrinya. Sampai kemudian beliau memersilahkan saya kembali dan berpesan untuk tidak melakukan tindakan konyol yang bisa merugikan diri sendiri.
|
KH. Haris Dimyati |
Kabar berpulangnya beliau benar-benar seperti petir yang hendak meruntuhkan bumi. Malam setelah menerima kabar itu, sehabis subuh kami (saya bersama ibu) berangkat ke Tremas. Sampai di Tremas, tepat sebelum pemberangkatan beliau di rumah abadinya. Sepertinya saya masih diberi kesempatan menyaksikan keajaiban yang luar biasa dari seorang guru besar, waliyullah yang mastur dan rendah hati itu.
Apa yang saya saksikan juga didengar oleh berapa orang tertentu. Saat doa dilangitkan untuk mengiringi kepergian beliau, suara jeritan tangis dari segala penjuru membuat bulu kuduk berdiri. Suara-suara itu nyata walau tak terlihat para pelayat menangis histeris, kecuali mata mereka lebam oleh isak tangis yang ditahan. Saya masih terus mendengar saat menghantar hingga maqbaroh Lembu.
“Itu suara tangis dan jeritan para jin dan malaikat.”
Itu jawab Syarifah Salamah Alwi, putri Nyai Hafsah Dimyathi, saat ibu saya menanyakan suara aneh yang mengiringi kepergian almarhum.
Lahu walahumul Fatihah.
Penulis: Ade Ahmad, alumni Pesantren Tremas.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!