Menggunjing atau ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain) adalah satu hal yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Menggunjing diibaratkan seperti orang yang memakan bangkai daging saudaranya. Dalam Al-Qur’an secara tegas Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah sebagian dari kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan bangkai dari daging saudaranya. Tentu kalian merasa jijik.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Bahaya Ghibah Lebih Besar Daripada Berzina
Hadits riwayat al-Baihaqi dan at-Thabrani, Rasulullah saw. bersabda:
“Ghibah itu dampaknya lebih besar daripada zina. Sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa ghibah lebih besar efeknya daripada zina?.’ Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya seseorang yang melakukan perzinaan lalu bertaubat, Allah akan mengampuni taubatnya. Nah, orang yang ghibah, saat ia bertaubat, tidak akan diampuni oleh Allah begitu saja sampai orang yang digunjing juga memaafkannya.” (Abu Bakar al-Baihaqi, Syu’abul Iman, juz 9, halaman 98).
Menggunjing lebih dahsyat efeknya daripada zina tidak bisa diartikan bahwa zina itu dosanya kecil lalu menggunjing dosa besar. Masing-masing dosanya sama besarnya. Perlu diketahui, orang yang terbukti melakukan zina, hukumannya sangat berat melebihi hukuman seorang pembunuh.
Hukuman pembunuh (qishas) adalah pembunuhnya gantian dibunuh oleh pemerintah yang sah dengan cara dipenggal lehernya. Sekitar 10 menit bisa dinyatakan dokter benar-benar meninggal. Artinya ini sangat simpel. Bedakan dengan had orang yang berzina!
Hukuman orang zina muhshan adalah dibunuh dengan cara mengenaskan. Tidak sesimpel zina muhshan yang sekali tebas, selesai. Melainkan dengan dilempari batu sampai mati. Artinya, proses sanksi berlangsung perlahan-lahan yang tentu saja menyebabkan penderitaan yang lebih berat.
Zina yang sedemikian berat hukumannya, Baginda Nabi menyatakan masih lebih dahsyat ghibah. Dengan demikian, ghibah adalah satu hal yang benar-benar harus dihindari. Ia mempunyai efek yang sangat berbahaya. Bisa jadi, sebab seseorang digunjing di depan orang lain, ia gagal kariernya, rezekinya menjadi tertutup, dipecat dari perusahaan atau ditolak bekerja di satu tempat dan lain sebagainya.
Lalu, apakah yang dilarang itu hanya menggunjing kepada sesama Muslim atau juga berlaku kepada non-Muslim?
Ada dua pendapat. Imam al-Ghazali mengatakan, menggunjing non-Muslim yang tidak memerangi orang Islam adalah haram. Sedangkan Ibnul Mundzir menyatakan sebaliknya.
Imam al-Ghazali memandang orang non-Muslim yang tidak melakukan perlawanan/pemberontakan terhadap kafir dzimmi (orang non-Muslim sebagaimana yang banyak ditemukan di Indonesia), hukumnya tidak boleh sebab mereka berhak mendapat perlindungan sebagaimana umat Islam pada umumnya. Mulai dari kehormatan pribadi, darah dan harta benda mereka masing-masing secara resmi dilindungi oleh ikatan-ikatan syariat Islam. Oleh karena itu, menyakiti non-Muslim hukumnya sama dengan hukum menyakiti orang Islam. Berbeda apabila yang digunjing adalah orang non-Muslim (kafir) penyerang Islam (harbi), maka hukumnya boleh.
Selain itu, Imam al-Ghazali memberikan alasan mengapa menggunjing kafir dzimmi dilarang? Sebab;
Pertama, gunjingan tersebut pasti menyakitkan mereka. Padahal hukum menyakiti Muslim maupun non-Muslim yang tidak melawan (kafir dzimmi), hukumnya haram.
Kedua, menganggap ada sebuah kekurangan pada ciptaan Allah. Menceritakan kekurangan orang lain baik Muslim maupun non-Muslim sama saja dengan menganggap ada sebuah cacat pada makhluk yang diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, walaupun non-Muslim sekalipun, dia merupakan ciptaan Allah. Apabila kita menggunjing dia, sama saja kita menganggap ada kekurangan pada ciptaan Allah. Menganggap kurang pada ciptaan Allah seperti ini hukumnya makruh.
Ketiga, membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berfaedah. Menggunjing orang otomatis menggunakan waktu yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Sebuah pekerjaan kurang baik.
سُئِلَ الْغَزَالِيُّ فِي فَتَاوِيهِ عَنْ غِيبَةِ الْكَافِرِ. فَقَالَ: هِيَ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِ مَحْذُورَةٌ لِثَلَاثِ عِلَلٍ: الْإِيذَاءُ وَتَنْقِيصُ خَلْقِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ خَالِقٌ لِأَفْعَالِ الْعِبَادِ، وَتَضْيِيعُ الْوَقْتِ بِمَا لَا يُعْنِي. الى ان قال وَأَمَّا الذِّمِّيُّ فَكَالْمُسْلِمِ فِيمَا يَرْجِعُ إلَى الْمَنْعِ مِنْ الْإِيذَاءِ،؛ لِأَنَّ الشَّرْعَ عَصَمَ عِرْضَهُ وَدَمَهُ وَمَالَهُ.
“Imam Al-Ghazali pernah ditanya dalam fatwa-fatwanya tentang bagaimana hukum menggunjing orang kafir. Dia menjawab ‘Bagi seorang Muslim, menggunjing orang kafir adalah dilarang karena tiga alasan yaitu menyakiti hatinya, menganggap kurang (rendah) ciptaan Allah. Sesungguhnya Allah itu yang menciptakan semua aneka macam gerak-gerik hamba-hamba-Nya. Dan boros terhadap waktu dengan digunakan untuk hal-hal yang tidak berguna.”
Kemudian, Imam Al-Ghazali menyatakan, kafir dzimmi hukumnya berlaku sebagaimana orang Islam dalam hal masing-masing tidak boleh disakiti. Sesungguhnya syara’ melindungi kehormatan, darah dan hartanya. (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawâjir, juz 2, halaman 27)
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya, Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Barangsiapa menyampaikan sebuah perkataan yang menyakitkan kepada orang Yahudi atau Nasrani, orang itu berhak masuk neraka.” (HR. Ibnu Hibban)
Ibnu Mundzir mempunyai pandangan berbeda dengan Imam al-Ghazali. Ia melihat bahwa menggunjing non-Muslim tidak dosa sebab ada sebuah hadits yang mengisahkan, Rasulullah ditanya oleh sahabat, “Ya Rasulullah, apa yang dinamakan ghibah?” Kemudian Baginda Nabi menjawab, “Saat kamu menceritakan saudaramu dengan hal yang tidak ia sukai.”
Rasul menyebut kalimat “saudaramu”. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, namanya saudara adalah sesama Muslim. Orang non-Muslim itu bukan seagama, maka dia bukan saudara. Menggunjing mereka tidak dosa.
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي قَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ذِكْرُك أَخَاك بِمَا يَكْرَهُ» فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنْ لَيْسَ أَخَاك مِنْ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَوْ سَائِرِ أَهْلِ الْمِلَلِ، أَوْ مَنْ أَخْرَجَتْهُ بِدْعَةٌ ابْتَدَعَهَا إلَى غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ لَا غِيبَةَ لَهُ. انْتَهَى
“Ibnu Mundzir menyoroti sabda Nabi Muhammad saw., ‘Saat kamu menceritakan saudaramu dengan hal yang tidak ia sukai.’ Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak menjadi saudara mungkin karena ia adalah seorang Yahudi, Nasrani atau beragama lain, atau pula orang yang berbuat bid’ah, melakukan inovasi baru yang tidak Islami, maka menggunjing mereka tidak dinamakan ghibah.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zawâjir, juz 2, halaman 27).
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU