Para sahabat Rasulullah adalah manusia biasa. Tidak terjaga dari melakukan perbuatan dosa (maksum). Terkadang mereka melakukan kesalahan dan kekhilafan sebagaimana umat Islam pada umumnya. Sebagian dari mereka juga pernah ada yang berprasangka buruk atau protes terhadap apa yang dilakukan Rasulullah.
Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Sebagaimana manusia biasa, prasangka buruk sebagian sahabat itu terjadi ketika keputusan Rasulullah dianggap tidak adil atau ‘tidak menguntungkan’ kelompok atau sukunya. Mereka lantas melayangkan nota protes kepada Rasulullah. Namun setelah Rasulullah menjelaskan apa maksud dan tujuannya, mereka bisa menerimanya dengan baik. Bahkan menyesali aksi protesnya.
Merujuk buku Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), pada saat perang Hunain, Rasulullah memberikan unta untuk al-Aqra’ bin Habis dan Uyainah. Masing-masing 100 ekor unta. Ternyata, keputusan Rasulullah itu dianggap tidak adil bagi sebagian sahabat. Mereka bahkan menuduh Rasulullah kalau pemberian itu tidak dilandasi untuk mendapatkan ridha Allah.
Usai perang, ada seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah. Dia protes karena Rasulullah hanya memberi unta kepada al-Aqra’ bin Habis dan Uyainah. Sementara Ju’ail bin Saraqah tidak dikasih unta barang seekor pun.
Rasulullah lantas menjelaskan mengapa dia melakukan itu. Kata Rasulullah, Ju’ail bin Saraqah sudah mantap dan kokoh keislamannya sehingga tidak perlu diberi harta benda. Sementara Uyainah dan al-Aqra diberi unta -masing-masing 100 ekor- agar keislaman mereka menjadi kuat. Karena mereka termasuk al-muallafah qulububum (orang yang dilunakkan hatinya), sementara Ju’ail bin Saraqah tidak.
Begitu pun setelah perang Hawazin, Rasulullah memberikan ghanimah (harta rampasan perang) hanya kepada kaum Muhajirin dan al-muallafah qulububum (mualaf), sementara kaum Anshar tidak mendapatkan bagian. Tentu saja hal ini memicu prasangka buruk dan gelombang protes dari kaum Anshar. Bahkan, Hasan bin Tsabit membuat syair kritikan untuk Rasulullah karena kebijakan Rasulullah itu dianggap tidak adil, berat sebelah, dan lebih mengutamakan kaumnya sendiri.
Sa’ad bin Ubadah dari kaum Anshar lalu menghadap Rasulullah dan memberi tahu tentang hal itu. Rasulullah lantas menyuruh Sa’ad bin Ubadah untuk mengumpulkan kaumnya di dalam satu tempat. Setelah semuanya berkumpul, Rasulullah berdiri di hadapan mereka dan menyampaikan khutbah tentang kebijakannya itu. Mengapa kaum Muhajirin dan al-muallafah qulububum yang mendapatkan bagian, sementara kaum Anshar tidak?
“Wahai kaum Anshar, tidakkah kamu merelakan sedikit harta yang bisa aku gunakan untuk menarik suatu kaum supaya masuk Islam. (Ketahuilah) saya sangat yakin dengan keislaman kalian (sehingga tidak perlu mendapatkan bagian itu)?” kata Rasulullah dalam khutbahnya.
“Wahai kaum Anshar tidakkah kamu rela, orang-orang pulang bersama kambing dan unta sedangkan kalian pulang bersama Rasulullah?”
“Demi Dzat yang Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, kalau tidak ada (takdir untuk) hijrah, tentu saya (ingin) menjadi orang Anshar. Kalau seandainya orang-orang melewati satu jalan dan orang Anshar melewati jalan lain, tentu saya akan melewati jalan yang dilewati oleh kaum Anshar.”
Di akhir khutbahnya, Rasulullah mendoakan agar kaum Anshar, anak-anak, dan cucu-cucunya mendapatkan kasih sayang dari Allah. Kaum Anshar menyimak dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Rasulullah. Mereka membetulkan semua yang disampaikan Rasulullah. Rela atas kebijakan Rasulullah dalam pembagian ghanimah tersebut. Setelah mendengarkan khutbah Rasulullah, mereka menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi jenggotnya.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!