Pada saat menjalankan ibadah thawaf, Syaikh Abu Hasan sempat melihat di antara orang yang sedang thawaf terdapat seorang wanita yang wajahnya bersinar terang mengagumkan. Keelokan wajahnya memaksa Syaikh Abu Hasan menjadi terheran-heran.
Ia sampai melontarkan perkataan, “Demi Allah, seumur-umur saya belum pernah melihat wajah wanita begitu bersinar melebihi wanita ini. Saya yakin, orang seperti demikian pasti tidak punya pikulan beban pikiran berat dalam hidupnya.”
Entah dengan sebab apa, wanita super cantik yang dikagumi tersebut bercerita atas kejadian yang menimpa pribadinya. “Demi Allah, sebenarnya saya adalah orang yang mempunyai pikulan beban pikiran sungguh berat. Hatiku kalut. Jiwa saya penuh dengan kesusahan. Tidak ada seorang pun yang dapat ikut merasakan beban beratku ini,” kata wanita ini memulai curhatnya.
Kisahnya, pada saat hari raya Idul Adha tiba, kami berkurban. Suamiku bertindak sebagai penyembelih kambing yang telah kami persiapkan sebelumnya. Salah seorang anakku menyaksikan proses penyembelihan.
Setelah melihat, anakku yang besar tersebut bertanya kepada adiknya, “Mau nggak, saya kasih tahu bagaimana ayah tadi menyembelih hewan kurban?” Karena mereka masing-masing masih kecil, adiknya yang masih kecil itupun juga mengiyakan begitu saja.
Saat itu, saya sedang di dapur untuk memasakkan keluarga kecilku tersebut. Anak saya yang paling kecil masih minum air susu sembari saya gendong. Mereka bercakap-cakap dan kemudian bermain seolah sang kakak bertindak sebagai ayahnya. Sedangkan adiknya menjadi seekor kambingnya.
Saat mereka main sembelih-sembelihan kurban, mereka tidak menggunakan pisau mainan, namun pisau asli. Pada akhirnya anakku yang besar bermain menyembelih kambing yang digantikan adiknya dengan pisau asli. Dan kemudian si adik benar-benar wafat.
Karena ketakutan, sang kakak melarikan diri dari rumah. Ia lari ke hutan. Namun apa daya. Ia diterkam singa hingga tamatlah riwayatnya. Yang lebih tragis. Ayahnya anak-anak masih mencoba mencarinya barangkali anak saya masih selamat. Namun sayang, suami saya malah tidak segera kembali pulang.
Saya susul di hutan. Anakku yang tadinya saya gendong saya lepaskan. Saya mencoba ingin tahu bagaimana keadaan suamiku. Ternyata suamiku mati kehausan. Satu-satunya anak yang masih saya gendong tadi, karena belum bisa berjalan, ia mencoba meraih apa saja yang ada di dapur.
Namun apa yang terjadi, ia meraih kuali yang masih panas di atas bara api. Airnya tumpah. Tubuh anak saya yang kecil itu melepuh bahkan sampai tulang-tulangnya. Ia pun menyusul mati kemudian.
Anakku tinggal satu, yaitu wanita yang sudah menikah. Cerita masih berlanjut. Anakku wanita yang sudah menikah tersebut, setelah mendengar kisah yang kami alami, karena tidak kuat, ia pun akhirnya terjun ke jurang, bunuh diri. Sepanjang masa itu saya menjadi hidup sebatang kara.
Mendengar kisah demikian, Syaikh Abu Hasan kemudian bertanya kepada wanita tersebut. “Lalu bagaimana cara kesabaranmu menghadapi masalah yang kamu hadapi?”
Wanita itu menjawab “Tidak ada seorang pun baik yang bersabar maupun mengeluh kecuali memang di antara mereka terdapat perbedaan yang signifikan. Orang yang sabar, bersikap baik secara lahiriyahnya, ia akan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang terpuji di kemudian hari. Adapun orang yang cemas dan mengeluh, ia tidak akan mendapatkan ganti rugi.”
Aku mulai meninggalkan wanita itu, kata Syaikh Abu Hasan. Sang wanita menutup perkataannya dengan kalimat “Saya bersabar, sebab sabar adalah ratapan terbaik. Aku bersabar terhadap satu hal jika engkau merasakan sebagian saja akan membuahkan deraian air mata sampai engkau mampu mengusapnya.”
Disarikan dari Kitab Syekh Muhammad bin Salim, Is’adur Rafîq, juz II, halaman 16.
Sumber: Situs PBNU