Rasulullah adalah seorang yang bijak dan adil. Jika benar, maka akan dikatakan benar. Begitu pun sebaliknya. Jika salah, maka Rasulullah akan mengatakannya salah. Tidak peduli apakah yang melakukan kesalahan itu adalah dari umat Islam sendiri. Rasulullah meletakkan keadilan dan kebenaran di atas semua golongan.
Biasanya, seseorang akan berlaku adil manakala situasi dan kondisinya menguntungkan diri, keluarga, sahabat ataupun kelompoknya. Akan tetapi, jika keadaannya merugikan diri atau kelompoknya maka niscaya ia akan berat, bahkan cenderung tidak berlaku adil.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Rasulullah. Rasulullah adalah seorang yang berlaku adil kepada semuanya; kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, umat Islam sendiri, bahkan kepada non-Muslim sekalipun. Rasulullah menjadikan keadilan sebagai sebuah hukum dan sistem yang harus ditegakkan dalam setiap situasi dan kondisi apapun.
Alkisah, suatu ketika terjadi perselisihan antara seorang Muslim dan seorang Yahudi. Cerita bermula ketika seorang Yahudi sedang menawarkan barang dagangannya kepada seorang Muslim. Lalu seorang Muslim tersebut ‘membalas’ dengan sesuatu yang dibenci seorang Yahudi itu. Tidak terima dengan itu, seorang Yahudi mengucapkan sumpah serapah. Seorang Yahudi itu juga mengagungkan Nabi Musa as. di atas semua manusia.
Mendengar respons balik seperti itu, seorang Muslim tersebut tidak terima. Dia bergegas mendekati seorang Yahudi tersebut dan langsung menamparnya. Ya, dia tidak terima seorang Yahudi tersebut yang melebihkan Nabi Musa as. di atas semua manusia. Menurutnya, Nabi Muhammad saw. yang ‘lebih unggul’.
“Engkau mengatakan, Demi Dzat yang telah memilih Musa atas semua manusia, sedangkan ada Nabi Muhammad di antara kita?” kata seorang Muslim tersebut kepada seorang Yahudi itu.
Seorang Yahudi tersebut kemudian lapor kepada Rasulullah. Ia tidak terima ditampar oleh seorang Muslim seperti itu. Menariknya, merujuk buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah malah membela seorang Yahudi tersebut. Beliau ‘memarahi’ seorang Muslim itu dan bertanya kepadanya tentang alasan menampar seorang Yahudi itu.
Rasulullah lantas bersabda agar tidak membanding-bandingkan dirinya dengan para nabi Allah sebelumnya. Rasulullah menjelaskan bahwa para nabi memiliki tugas yang sama, yaitu menyeru kepada umat manusia untuk mengesakan Allah (Tauhid).
Rasulullah mengibaratkan dirinya dengan para nabi sebelumnya seperti seorang yang sedang membangun rumah. Para nabi sebelumnya membangun semua sisi dan bagian rumah, mulai dari tembok hingga atap. Memperindah dan membaguskan rumah tersebut. Namun ada satu bagian yang belum selesai digarap, yaitu satu tempat ubin di suatu sudut. Kata Rasulullah, dirinya-lah ‘ubin’ itu. Beliau ditugaskan untuk menyempurnakan bangunan rumah tersebut. Dengan itu, Rasulullah ditahbiskan dirinya sebagai penutup para nabi.
“Janganlah kalian melebihkanku di antara para nabi (yang lainnya),” tegas Rasulullah.
Rasulullah selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengagungkan semua nabi. Tidak melebihkan satu dengan yang lainnya. Juga tidak merendahkan satu dengan yang lainnya. Kata Rasulullah dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim: “Para nabi adalah saudara se-ayah dan ibu-ibu mereka berbeda-beda, sedangkan agama mereka adalah satu”.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!