Gejolak penyerangan kolonial semakin kentara pada awal abad ke-20. Bangsa Indonesia mulai muak dengan tipu daya Belanda selama ratusan tahun. Segala kekuatan dari berbagai elemen dikerahkan demi terciptanya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlawanan terhadap penjajah tidak hanya dilakukan oleh para tentara dan rakyat biasa, tetapi juga hadir dari kalangan kaum bersarung (santri) dan para kiai Nusantara. Di antara para kiai itu adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari.
Lahirnya sosok baru dalam upaya merebut kemerdekaan tanah air dari kalangan salafusshalih menjadi sorotan para penjajah dalam meningkatkan penyerangan. Hal itu mendorong para ulama kala itu untuk mengatur strategi dan meningkatkan kewaspadaan. Bagaimana tidak, kebijakan politik pemerintah Hindia-Belanda yang menaruh kecurigaan terhadap para haji, mereka menganggap para haji adalah biang keladi pada pemberontakan-pemberontakan sebelumnya. Sehingga, pada akhirnya, kebijakan inilah yang membatasi pergerakan Islam kala itu.
Ialah KH. Ahmad Dahlan, tokoh legendaris yang kita kenal sebagai founding father organisasi Muhammadiyah ini merupakan tokoh nasional yang sangat berjasa dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis, putra dari seorang khatib Keraton Yogyakarta. Darwis lahir dari kalangan orang alim, bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig (salah satu ulama di zaman Kerajaan Mataram Islam) dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik) di sebuah kampung yang bernama Kauman, dengan lingkungan yang tentram di bawah naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII kala itu. Kauman sendiri saat ini populer sebagai perkampungan yang berdekatan dengan pusat keagamaan di sebuah perkotaan.
Hidup di antara rakyat yang taat pada rajanya, atmosfer keagamaan yang kuat memberikan pengaruh yang luar biasa pada diri KH. Ahmad Dahlan. Hingga pada suatu ketika, dimana Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengutus Raden Ngabehi Ngabdul Darwis yang merupakan panggilan keraton terhadap KH. Ahmad Dahlan untuk menuntut ilmu di Arab Saudi.
Kedatangannya ke Arab Saudi inilah yang mempertemukannya pada sahabat remajanya saat belajar agama di Madura dan di Semarang; KH. Hasyim Asy’ari, tokoh besar pembaharu Islam dari kalangan pesantren. KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang pada tahun 1871 M. Sama halnya dengan Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari juga dibesarkan di lingkungan yang religius. Ayah KH. Hasyim Asy’ari memiliki pondok pesantren di Jombang. Sejak usia 13 tahun, ia dipercaya ayahnya untuk menggantikan jadwal mengajar sang ayah, karena sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning).
Di usianya yang ke-15 tahun, ia mulai mengembara ke berbagai pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Probolinggo, Pondok Langitan, Trenggilis, dan di Pesantren Kiai Kholil Bangkalan, Madura. Di sinilah ia awal mula bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan, keduanya belajar bersama di bawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan. Sampai pada akhirnya, empat dari murid Kiai Kholil tamat dari pendidikan keagamaan di Bangkalan, mereka diperintahkan untuk berguru ke Jombang dan Semarang.
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari mendapat perintah untuk berguru kepada Kiai Sholeh Darat di Semarang. Kiai Sholeh Darat merupakan ulama tersohor di pesisir utara Jawa kala itu. Bahkan keluarga RA. Kartini juga belajar agama kepada Kiai Sholeh Darat.
Sambung cerita, kedua remaja tersebut sangat menikmati nuansa pendidikan dari Kiai Sholeh Darat. Adi Hasyim, begitulah panggilan akrab KH. Ahmad Dahlan untuk Kiai Hasyim. Sebaliknya Kiai Hasyim juga memanggil KH. Ahmad Dahlan dengan panggilan akrab Mas Darwis. Konon, keduanya juga tinggal sekamar.
Selama kurang lebih dua tahun kedua santri ini mengabdi dan belajar agama pada Kiai Sholeh Darat dan Darwis mendapat nama yang sampai sekarang dikenal semua orang yaitu Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan lebih dahulu meninggalkan pesantren di Semarang dan kembali ke Yogyakarta, sebelum pada akhirnya mereka berdua juga bertemu pada guru yang sama saat menimba ilmu di Arab Saudi.
Setibanya di Makkah inilah yang membuat keduanya mempunyai kecenderungan yang berbeda. Kiai Hasyim Asy’ari sangat menyukai hadits dan KH. Ahmad Dahlan lebih tertarik pada pemikiran dan gerakan Islam. Karena keahliannya dalam hadist inilah yang membuat gurunya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memberikan gelar Hadratussyekh kepada Kiai Hasyim. Sampai pada akhirnya keduanya sama-sama boyong (pulang/tamat dari pondok) dan kembali ke asal masing-masing untuk mengabdi pada tanah air.
Dua orang besar inilah yang memberi ornamen baru untuk kemajuan Islam di Indonesia. Dengan semangat pergerakan Islamnya, KH. Ahmad Dahlan giat mendirikan lembaga pendidikan Islam yang formal dengan mengadaptasi pada sitem sekolah kolonial. Anak-anak muda Indonesia tidak hanya belajar agama saja, tetapi juga mampu memahami ilmu alam. Tidak mengherankan jika saat ini kita banyak menemukan sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit yang maju milik Muhammadiyah, buah kegigihan dalam berideologi sang pendirinya.
Sosok Kiai Dahlan memang terkenal pragmatikus, sedikit bicara, banyak bekerja. Dalam upaya menjawab persoalan umat, ia bersama dengan orang-orang di sekitarnya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah yang kemudian hari ini menjadi salah satu ormas besar di Indonesia.
Sedangkan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari memang ditugaskan untuk mendirikan Pesantren di Tebuireng, Jombang dan memilih untuk fokus pada kajian salafiyah, kitab-kitab kuning. Santri-santrinya banyak yang berdatangan untuk menimba ilmu. Cita-cita mendirikan jamiyah ulama sangat direspons baik oleh KH.A. Wahab Hasbullah untuk membuat wadah atau organisasi Islam yang moderat dan berasas pada Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian dibentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bentuk asosiasi ulama-ulama salafi.
Perjalanan keduanya memang sedikit berbeda. KH. Ahmad Dahlan cenderung memilih jalur politik dalam mengembangkan gerakan Islamiyah di Yogyakarta. Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari lebih memilih membesarkan pondok pesantrennya dengan kajian klasik.
Sampai pada suatu saat sang Hadratussyekh menerima sebuah kabar dari santrinya, "Kiai, ada gerakan yang ingin memurnikan agama, dan membuat badan amal perserikatan di Yogyakarta.”
Jawaban Hadratusyekh sangat singkat dan santai. "Oh, itu Mas Darwis. Ayo kita dukung."
NU dan Muhammadiyah adalah bentuk modernisasi Islam Nusantara. Islam yang memandang agama lebih merangkul pada semua aspek, bukan semua aspek harus dilandaskan pada agama. Asas kedua organisasi besar inilah yang kemudian menumbuhkan agama Islam di Indonesia sebagai agama yang moderat, toleran, dan progresif. Keduanya memiliki ideologi dan cara pandang Islam yang berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama-sama ingin mencapai tujuan yang satu, yaitu ridha Allah, dan Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Kita sudah tidak perlu berdebat mengenai amaliyah kita sebagai orang NU atau Muhammadiyah dalam ritual beribadah, karena seperti yang digambarkan di atas, bahwa kedua ormas ini lahir dari orang-orang besar, yang mempunyai satu tujuan, satu misi, dan dari guru dengan sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan hadist. Lalu mengapa, hari ini bangsa kita semakin merasa bahwa golongannya adalah yang paling benar?
Ketidakmampuan mengendalikan emosi, mendorong keinginan seseorang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. NU dan Muhammadiyah sejatinya adalah ormas yang berasas pada perlawanan orang-orang yang mengusik kesejahteraan bumi Nusantara. Bahkan di NU sendiri memiliki slogan Hubbul wathon minal iman; bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Maka, jelas orang-orang yang mengusik ketentraman orang Indonesia bukanlah orang yang berlandas pada dasar dan tujuan dari berdirinya NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah yang akan menyatukan umat Islam Indonesia dari cara berpikir yang radikal dan ekstremis, yang justru akan mengancam Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam.
Sumber: Situs PBNU