Boleh jadi, banyak orang yang tak menghargai, mempermainkan, bahkan cenderung mengabaikan institusi pernikahan karena belum memahami faidah dan hikmah di balik pernikahan. Padahal, hikmah pernikahan itu begitu besar, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat manusia secara umum.
Berbicara pernikahan, mau tidak mau harus disadari bahwa kehidupan manusia tak mungkin berlangsung dan berkelanjutan kecuali dengan memelihara generasi yang baik. Dan generasi yang baik tak mungkin lahir kecuali dari pernikahan dan keluarga yang utuh dan harmonis, juga tentunya keluarga yang berakidah kuat, taat beribadah, dan berbudi pekerti luhur. Karena itu, menikah adalah satu-satunya jalan terbaik melahirkan generasi pilihan dan memperbanyak keturunan, sebagaimana yang disampaikan Allah:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; serta dari keduanya Allah memperbanyak laki-laki dan perempuan yang banyak, (QS al-Nisa’ [4]: 1).
Demikian pula yang diinginkan dan dibanggakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab, aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain pada hari Kiamat,” (HR. Ahmad).
Selain itu, menikah juga merupakan cara termulia untuk memenuhi kebutuhan biologis, naluri, dan fitrah saling mencinta yang dititipkan Allah kepada manusia. Siapa pun tahu manakala kebutuhan, naluri dan fitrah itu tak terpenuhi akan membawa pemiliknya kepada kegelisahan, kekacauan, bahkan frustasi yang berujung pada berbagai tindakan tak terpuji. Dengan kata lain, menikah merupakan benteng dalam menjaga kehormatan serta kesucian diri, juga pandangan dan kemaluan dari segala tindakan nista yang diharamkan Allah, semisal perzinaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menundukkan (menjaga) pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah penekan nafsu syahwat baginya,” (HR. Muslim).
Pun tak bisa dipungkiri bahwa pernikahan adalah gerbang meraih ketenangan, saling menyayangi, serta kebahagiaan bersama, sebagaimana dalam Al-Qur’an.
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang". (QS. Ar-Rum: 21).
Selanjutnya, menikah juga merupakan satu jalan untuk saling mengikat, saling menutupi kekurangan, saling menaruh kepercayaan, saling membutuhkan, saling berbagi peran, saling menolong, saling memenuhi hak-kewajiban, saling meringankan beban, dan sebagainya. Karena tak mungkin seluruh tugas rumah tangga tertangani seluruhnya oleh suami atau istri. Maka di sanalah pentingnya berbagi peran dan saling meringankan beban satu sama lain. Kesibukan suami mencari nafkah di luar rumah, misalnya, akan lebih berat jika harus ditambah dengan kesibukan memasak, mengasuh anak, dan pekerjaan rumah lainnya. Karenanya, dibutuhkan sosok yang fokus menangani tugas-tugas dalam rumah dan mengatur rumah tangga, yaitu seorang istri. Dan yang lebih penting lagi dari semua itu adalah meneguhkan kepemimpinan suami dalam rumah tangga.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka), (QS. An-Nisa’: 34).
Di sisi lain, pernikahan juga mampu membangun silaturahim, persaudaraan, dan hubungan erat antar keluarga serta masyarakat tempat suami dan istri berasal yang semula tidak saling mengenal. Ini pula hikmah yang hendak dicapai melalui pernikahan, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal", (QS. Al-Hujurat: 13).
Maka berkat individu-individu yang menghormati pernikahan, fondasi keluarga yang kokoh dan harmonis, akan terwujud bangunan masyarakat akan kuat, bersih, rukun, dan terhindar dari segala perbuatan nista.
Kaitan ini, al-Ghazali juga pernah menguraikan empat hikmah lain di balik anjuran menikah:
Pertama, meraih kecintaan dan keridaan Allah dengan cara memperbanyak keturunan guna melestarikan eksistensi dan kehidupan manusia.
Kedua, kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena turut memperbanyak umatnya yang akan dibanggakannya kelak pada hari Kiamat, sebagaimana hadits, “Menikahlah kalian dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab, aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain pada hari Kiamat,” (HR. Ahmad).
Ketiga, meraih keberkahan dari doa anak-anak yang shalih.
“Ketika seseorang meninggal, maka putuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: (1) sedekah yang mengalir pahalanya; (2) ilmu yang bermanfaat; dan (3) anak shalih yang selalu mendoakan,” (HR. Tirmidzi).
Keempat, mendapat syafaat dari anak yang meninggal di waktu kecil. Hal ini berdasarkan hadits:
“Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan memiliki tiga orang anak yang belum akil baliq, maka ia memiliki sebuah tirai penghalang dari neraka atau ia masuk surga,” (HR. Bukhari).
Demikianlah hikmah-hikmah pernikahan yang disarikan dari kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali, (Beirut: Darul Ma‘rifat, jilid 2, hal. 24), kitab Fiqh al-Nikâh karya Muhammad Abdul Lathif Qindil (Beirut: Darul Kutub, t.t., hal. 55), dan kitab al-Zawâj fî Zhill al-Islâm karya ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf (Kuwait: Daru al-Salafiyyah, 1988, cetakan ketiga, hal. 21). Semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU