Dulu ada tradisi, setiap orang yang diangkat atau diakui menjadi ulama oleh masyarakat syaratnya menunggu persetujuan dari Rasulullah. Seperti kisah Imam Al-Ghazali, saat kitab Ihya Ulumiddin populer, banyak ulama yang shalat sampai ada yang mimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpi itu, ulama bertanya, “Wahai Rasulullah, umat banyak yang berpegang pada kitab Ihya’ Ulumiddin, menurut engkau apakah ini dibenarkan?”. Kebetulan waktu itu ada Sayyidina Ali, Abu Bakar, dan Umar yang menemani Rasulullah, lalu Rasulullah memanggil dan menyuruh Sayyidina Ali untuk membacakan kitab Ihya’ Ulumiddin. Kemudian Rasulullah senang dan tersenyum. Rasulullah berkata, “Dimana Al-Ghazali?”. Maka, datanglah Imam Al-Ghazali dan langsung mengecup kaki Rasulullah.
Imam Bukhari berkata, “Aku menulis hadits sebanyak 16 ribu hadits yang diseleksi dari 600 ribu hadits dalam waktu 16 tahun. Semuanya akan dijadikan hujjah untuk menghadap Allah. Aku tidak pernah memasukkan 1 hadits pun sebelum diistikharahi dan dishalati 2 rakaat terlebih dahulu.”
Suatu hari, ada seorang ulama mimpi bertemu Nabi. Waktu itu Nabi berjalan dan di belakangnya ada Imam Bukhari. Setiap bekas tanah yang diinjak Nabi juga diinjak oleh Imam Bukhari tanpa geser sedikit pun. Ulama itu jadi tahu kalau Imam Bukhari sudah mendapat persetujuan Nabi.
Ada juga ulama yang bermimpi ketemu Nabi. Dalam mimpi itu, ia akan mengaji hadits ke Imam Bukhari dan Nabi bertanya, “Engkau akan kemana?”. Ulama menjawab, “Mengaji hadits kepada Imam Bukhari”. “Sampaikan salamku kepadanya” sahut Nabi.
Suatu waktu, ada ulama ahli fiqih yang sering mengkaji ilmu fiqih sampai ia mimpi bertemu Nabi. Dalam mimpi itu, Nabi berkata: “Engkau belajar (mengkaji) ilmu fiqih terus dan melupakan kitabku”. Ulama bertanya, “Wahai Nabi, apa kitab engkau?”. Nabi menjawab, “Kitabku adalah kitab karangan Imam Bukhari”.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari ceramah KH. Baha’uddin Nursalim (Gus Baha’) di akun youtube
ADS HERE !!!