Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, para kiai yang menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur melakukan langkah diaspora alias menyebar diri lalu mendirikan sebuah masjid maupun merintis pendirian pondok pesantren untuk mengajar ngaji para penduduk kampung. Sebagian besar menyebar dari wilayah Kedu, Yogyakarta, dan Magelang beralih ke wilayah Timur. Langkah perubahan strategi perjuangan ini di antaranya berpedoman pada QS. At-Taubah 122 : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel (mendirikan banyak benteng kecil untuk menjepit gerak langkah pasukan Pangeran Diponegoro), dalam Perang Jawa, yang sebelumnya mereka alami. Mereka bersama pengikutnya maupun membuka lahan baru (mbabat alas) menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya. Misalnya, Kiai Jamsari yang berasal dari Banyumas, mendirikan sebuah perguruan Islam (pesantren) di Solo. Kelak, pesantren tua ini lebih masyhur disebut dengan Pesantren Jamsaren, yang dinisbatkan ke nama pendirinya.
Di Magelang, terdapat Pondok Pesantren Pabelan yang dibangun kembali pada tahun 1965 oleh KH. Hamam Dja’far, alumni Tebuireng dan Gontor. Dalam keluarga Hamam mengalir darah ulama yang diturunkan oleh Kiai Haji Muhammad Ali bin Kiai Kertotaruno, pendiri Pesantren Pabelan (sekitar tahun 1800-an) yang pertama, yang juga pengikut setia Pangeran Diponegoro. Menurut masyarakat setempat, Kiai Kertotaruno adalah keturunan Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa.
Di Wonosobo, terdapat Pondok Pesantren al-Asy’ariyyah Kalibeber yang terletak di desa Kalibeber, Kecamatan Mojotengah. Pesantren Al-Qur’an yang mencapai keemasan di era kepemimpinan KH. Muntaha al-Hafidz ini dirintis oleh Raden Hadiwijaya, anak dari Kiai Nida Muhammad, salah seorang ulama yang ikut mendampingi Pangeran Diponegoro.
Usai penangkapan Pangeran Diponegoro, terjadi perburuan sisa-sisa pasukannya. Banyak di antara mereka yang kemudian menyamar menjadi rakyat biasa dan mengubah namanya. Termasuk Raden Hadiwijaya yang mengubah namanya menjadi Muntaha. Tahun 1832, dia menyingkir ke Dusun Karangsari, Desa Kalibeber. Di sini, dengan dibantu oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, salah seorang tokoh lokal yang sangat berpengaruh, Kiai Muntaha merintis sebuah padepokan (pondok) dan langgar sederhana di Dukuh Karangsari, Sarimulyo, Kalibeber, di pinggir Kali Prupuk. Di langgar sederhana ini, Kiai Muntaha mengajar agama.
|
Makam keturunan Raden Hadiwijaya (Kiai Muntaha) |
Masyarakat yang sebelumnya awam di bidang agama mulai tertarik dan mendalami agama Islam. Langgar tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah masjid sederhana dan mulai didirikan bangunan semipermanen disamping kanan kirinya untuk hunian para santri. Jumlah santri semakin lama semakin membludak dan berkembang. Setelah membina santri selama 28 tahun, anggota laskar Pangeran Diponegoro ini wafat pada 1860.
Di Temanggung, terdapat nama ulama legendaris, Kiai Subkhi, yang banyak dirujuk oleh para pejuang pada saat perang. Kiai Subkhi adalah putra salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang setelah undur diri dari medan tempur memutuskan mendirikan sebuah perguruan agama (pesantren) di sebuah desa bernama Parakan.
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuang mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front - front pertempuran di Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa diantaranya bahkan datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Kiai Subkhi, saat itu 90-an tahun, adalah magnet yang menarik mereka ke Parakan. Mereka ingin didoakan oleh kiai sepuh itu.
Dalam otobiografinya, Berangkat dari Pesantren, KH. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Diceritakan bahwa banyak para pejuang kemerdekaan yang datang ke parakan untuk menemui kiai yang sudah sepuh itu, sekedar meminta doa dan berkah dari sang kiai. Di antara mereka misalnya: Panglima Besar Jenderal Sudirman, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, KH. Masykur, Mr. Mohammad Roem, Mr. Kasman Singodimejo, dan Anwar Cokroaminoto. Dalam sebuah perbincangan dengan KH. Saifuddin Zuhri, Mbah Subkhi mengenang, di usia kurang lebih 5 tahun (perkiraan pertengahan 1860-an), dia digendong oleh ayahnya dalam pertempuran melawan serdadu Belanda yang berlindung di benteng mereka. Saat itu, ayahnya, bersama sisa-sisa prajurit Pangeran Diponegoro, melakukan gerakan perlawananan sporadis alias kraman.
Di kemudian hari, sisa-sisa pasukan Pangeran Diponegoro ini berdiam di Parakan, yang merupakan daerah unik, karena menjadi pertemuan berbagai budaya, sebagaimana diceritakan oleh KH. Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.” Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Pangeran Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan, kata KH. Saifuddin Zuhri, jika penduduk Parakan mempunyai berbagai unsur kebudayaan yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Di wilayah mancanagari timur, jejak perjuangan laskar Pangeran Diponegoro bisa dilacak melalui teritorial Magetan. Di kota ini, ada Pesantren Takeran, yang didirikan oleh Kiai Kasan Ngulama (Kiai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syatthariyah, yang juga merupakan putra Kiai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kiai Khalifah alias Pangeran Kertopati usai perang mengungsi ke arah timur Gunung Lawu, Magetan, dan membangun sebuah padepokan agama (pesantren) di Bogem, Sampung, Ponorogo. Sezaman dengan Kiai Khalifah, seorang sahabatnya saat berperang, Kiai Abdurrahman, juga mendirikan sebuah masjid di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan.
Di kemudian hari, salah seorang putra Kiai Khalifah, yaitu Kiai Hasan Ulama, mendirikan pesantren di Takeran Magetan. Di pondok yang merupakan cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM), Kiai Hasan melakukan kaderisasi para santri yang kelak juga banyak mendirikan pesantren lain di berbagai daerah. Berasal dari Bagelen, Purworejo, trio veteran Perang Jawa: Kiai Nur Qoiman, Nuriman dan Ya’qub, memutuskan mbabat alas di Desa Gondang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek. Di desa ini, tiga bersaudara tersebut mendirikan sebuah masjid. Keberadaan masjid sederhana ini kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren salaf di era kepemimpinan Kiai Murdiyah alias Kiai Muhammad Asrori, yang merupakan murid Kiai Kholil Bangkalan. Di era Kiai Asrori, banyak santri yang datang berguru. Kebanyakan berasal dari wilayah Mataraman (Jogja) dan Jawa Tengah. Pesantren berusia tua ini sekarang menggunakan nama PP. Qomarul Hidayah.
Di Kediri, seorang saudara tiri Pangeran Diponegoro, Sabar Iman alias Kiai Bariman bin Hamengkubowono III, menyingkir dari keratonnya dan memilih tinggal di kota ini. Dari silsilah Kiai Sabar Iman ini lahir Abdul Ghofur. Di kemudian hari salah satu putra Abdul Ghofur, Mukhtar Syafa’at, menjadi salah seorang ulama terkemuka di Banyuwangi. Pesantren yang dirintis, Darussalam, berkembang dengan ribuan santri. Saat ini, pesantren yang didirikan oleh Kiai Mukhtar Syafa’at diasuh oleh putranya, KH. Ahmad Hisyam Syafa’at.
Di Kediri juga terdapat Pesantren Kapurejo yang didirikan oleh Kiai Hasan Muhyi. Setelah bergerilya di lereng Gunung Lawu, Wilis, dan Kelud, Kiai Hasan Muhyi (Raden Mas Ronowidjoyo), seorang perwira tinggi dalam Detasemen Sentot Alibasah Prawirodirdjo, akhirnya mendirikan Pesantren Kapurejo, di Kecamatan Pagu. Pesantren tua ini banyak menelurkan alumni yang kemudian mendirikan pesantren di wilayah Nganjuk dan Kediri. Kiai Ahmad Sangi mendirikan Pesantren Jarak di Plosoklaten, Kiai Nawawi merintis Pesantren Ringinagung, Kiai Sirojuddin merintis pendirian Pesantren Jombangan, dan beberapa kiai lain juga mendirikan masjid di berbagai tempat tinggal masing-masing.
Selain itu, ada juga Pesantren Miftahul Ulum, Jombangan, Tertek, Pare, Kediri, yang didirikan oleh Kiai Sirojuddin, kurang lebih 15 tahun setelah penangkapan Pangeran Diponegoro. Kiai Sirojuddin kelahiran Kudus, bergabung dengan pasukan gerilya Pangeran Diponegoro beberapa saat menjelang Perang Jawa pecah. Hingga saat ini, Pesantren Miftahul Ulum dilanjutkan oleh keturunannya dan fokus pada pengembangan kajian Al-Qur’an dan kitab kuning.
Di Nganjuk, terdapat Pesantren Miftahul Ula, Nglawak, Kertosono. Pendirinya adalah Kiai Abdul Fattah Djalalain. Ayahnya, Kiai Arif, adalah cucu Pangeran Diponegoro, karena Kiai Arif adalah putra Kiai Hasan Alwi, yang merupakan putra Pangeran Diponegoro dari selirnya. Kiai Arif semasa hidupnya diburu serdadu Belanda dan sering berpindah tempat. Terakhir, ia menetap di desa Banyakan, Grogol, Kediri. Di kemudian hari, Kiai Arif menikah dengan Sriyatun binti Kiai Hasan Muhyi, pengasuh Pesantren Kapurejo. Dari pasangan ini, Kiai Fattah lahir. Pada era revolusi fisik, Kiai Fattah yang juga santri Kiai Hasyim Asy’ari ini menjadi magnet para laskar rakyat, termasuk Hizbullah dan Sabilillah. Sebab, beliau banyak memberikan wirid, amalan keselamatan, serta kekebalan bagi para pasukan yang mau terjun ke medan perang. Kiai kelahiran 9 April 1909 ini juga menjadikan pesantren asuhannya sebagai markas Hizbullah dan Sabilillah.
Di Jombang, terdapat nama Kiai Abdussalam, salah seorang pasukan Pangeran Diponegoro, yang merintis pondok di Desa Tambakberas. Ketika mbabat alas, ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya. Kelak, karena jumlah santrinya dibatasi 25 orang, pondok ini dikenal dengan nama pondok selawe alias “pesantren dua puluh lima” atau disebut pondok telu karena hanya ada tiga unit bangunan.
Di kemudian hari, Bani Abdussalam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para kiai di wilayah ini mengerucut pada namanya. Salah seorang putrinya, Layyinah, dipersunting Kiai Utsman yang kemudian menurunkan Kiai Asy’ari, ayah dari KH.M. Hasyim Asy’ari. Adik Layyinah yang bernama Fatimah menikah dengan Kiai Said. Pasangan ini dikaruniai putra bernama Chasbullah Said. Nama terakhir ini adalah ayah dari KH.A. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU.
Sedangkan adik Kiai Wahab menikah dengan KH. Bisri Syansuri, ulama yang berasal dari Pati. Kiai Bisri kemudian berbesanan dengan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Di kemudian hari, pesantren ini menjadi cikal bakal pesantren besar lain di wilayah Jombang, seperti Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Seblak, dan sebagainya. Sedangkan Kiai Abdul Wahid, veteran lainnya, merintis pesantren di Desa Ngroto. Adapun anaknya, Asy’ari, di kemudian hari mendirikan pesantren di Desa Keras. Nama terakhir ini adalah ayah dari KH.M. Hasyim Asy’ari.
Di Pacitan, ada Pondok Tremas yang banyak melahirkan ulama besar, dari Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Mbah Hamid Pasuruan, Kiai Ali Maksum Krapyak, Kiai Zubair Umar, Rektor IAIN Walisongo Semarang; hingga Menteri Agama era 1970-an, Prof. Mukti Ali. Pondok tua ini berdiri tepat ketika Perang Jawa berakhir, 1830. Pendirinya, Kiai Abdul Manan Dipomenggolo, adalah menantu perwira laskar Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Ngabehi Honggo Widjoyo. Kiai Manan ini adalah salah satu perintis hubungan intelektual Nusantara dan Mesir, sebab beliau pernah menuntut ilmu di Al-Azhar (Kairo) dan mendirikan sebuah ruwaq Jawi alias semacam asrama tempat tinggal para penuntut ilmu asal Nusantara.
KH. Maimun Zubair, dalam al-‘ulama al-mujaddidun, menyebut jika Kiai Mannan ini berjasa dalam mengokohkan Madzhab Syafi’i di Jawa karena selain pernah berguru kepada Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Rektor al-Azhar (1847-1860), yang karyanya banyak diapresiasi dunia Islam hingga kini, Kiai Mannan juga orang Nusantara yang pertama kali membawa kitab Ittihaf Sadat alqin kar-Muttaya Imam Murtadla az-Zabidi. Kitab ini merupakan syarah alias komentar atas karya Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin.
Di Banyuwangi, keberadaan laskar Pangeran Diponegoro bisa dilacak melalui jaringan intelektual-spiritual yang dibina oleh Kiai Sabar Iman bin Sultan Diponegoro II (Raden Mas Alip alias Raden Mas Sadewo) yang cucunya, Kiai Mukhtar Syafaat, kelak mendirikan pesantren terbesar di Banyuwangi, Darussalam, yang terletak di Desa Blokagung. Beberapa nama pesantren di atas adalah sebagian kecil dari lembaga pendidikan yang dirintis oleh para veteran Perang Jawa ini, khususnya di Jawa Timur. Selain itu masih ada banyak pesantren di Jawa Tengah yang didirikan oleh mereka. Belum terhitung lagi jumlah masjid kuno dan langgar yang nama pendirinya tidak terlacak.
Falsafah Pohon Sawo Zainul Milal Bizawie dalam”Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)” menjelaskan, para ulama veteran Perang Jawa berkomitmen dengan penanda di lokasi masing-masing sebagai wujud persatuan dan satu tekad melawan Belanda. penanda itu adalah adanya dua pohon sawo di depan tempat tinggal masing-masing. Pohon sawo ini mengandung filosofi sawwu shufufakum yang artinya “rapatkan barisanmu”. Mereka mengacu pada hadits Rasulullah saw., dari sahabat Anas bin Malik ra. bahwa beliau bersabda: shawwu shufufakum fa inna tawiyatash shufuf min iqamatis shalat (luruskanlah barisanmu karena lurusnya barisan termasuk menegakkan shalat) (HR. Bukhari).
Peralihan strategi dari perjuangan bersenjata ke perjuangan pencerdasan masyarakat di bidang pendidikan ini di kemudian hari menampakkan hasilnya. Usai perang, beberapa pesantren yang didirikan oleh anak-cucu laskar Pangeran Diponegoro maupun muridnya semakin bertumbuh-kembang. Misalnya Pesantren Maskumambang Gresik (1859), Pesantren Berjan Purworejo (1870), Pesantren Arjawinangun Cirebon, Pesantren al-Amin Prenduan Sumenep, Pesantren Kedunglo Kediri, Pesantren Genggong Probolinggo (1839), Pesantren Langitan Tuban (1852), Pesantren Rejoso Jombang (1885), Pesantren Guluk-Guluk Sumenep (1887), dan sebagainya.
Hingga saat ini pesantren-pesantren di atas masih bertahan dan berkembang pesat. Perjuangan Laskar Pangeran Diponegoro, sungguhpun secara kasat mata berakhir manakala sang pangeran ditangkap Belanda, namun secara faktual justru dimulai manakala strategi perjuangan diubah: dari medan perang ke arena pendidikan.
Di kemudian hari, sejarah berulang. Perlawanan terhadap kolonialisme tetap dilanjutkan oleh anak cucu laskar Pangeran Diponegoro, khususnya pada saat perang kemerdekaan, 1945-1950. Saat itu, para milisi yang dengan gagah berani melawan pendudukan Belanda adalah keturunan para ulama yang dulu bahu membahu bersama Pangeran Diponegoro. Sejarah senantiasa berulang dengan aktor yang berbeda. Kali ini, giliran Belanda yang harus angkat kaki dari bumi Nusantara.
Penulis: Raden Thomas Sugeng Sutaman