Di masa mudanya, Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro memiliki selera keilmuan yang tinggi dibandingkan dengan bangsawan lainnya. Ratu Ageng (istri Sultan HB ke-1) yang merupakan keturunan Sultan Abdul Qahir, dari Bima sejak awal memilih menyingkir dari Keraton yang semakin kuat intrik dan konflik di dalamnya. Ia memutuskan tinggal di sebuah kawasan yang membuatnya leluasa memperdalam ilmu agama di usia senja, menjauh dari hiruk pikuk politik, dan secara khusus mengkader Ontowiryo. Tempat tinggalnya di Tegalrejo didesain dengan unik dan khas.
Di saat rumah bangsawan Jawa dibangun menggunakan kayu, rumah Ratu Ageng terbuat dari susunan batu yang rapi, disertai dengan bangunan untuk para pembantu, gudang, lumbung, semacam bangsal luas untuk menampung peserta diskusi. Para ulama kerap diundang untuk bermusyawarah di bangsal yang luas. Pohon-pohon buah juga ditanam mengelilingi bangunan utama yang dilindungi tembok batu. Bahkan, usai Ratu Ageng mangkat (wafat), Ontowiryo lebih leluasa lagi merenovasi dan memperluas bangunannya, semata-mata agar para ulama dan santri pengelana bisa lebih leluasa berdoa, belajar, dan berdiskusi.
Ratu Ageng yang merupakan cucu ulama terkemuka, Ki Ageng Datuk Sulaiman Bekel Jamus benar-benar mendidik cicitnya agar senantiasa dekat dengan rakyat, mencintai ilmu, menghormati ulama, serta menempanya sebagai calon negarawan. Ratu Ageng juga telah mendorong para tokoh agama di Yogyakarta agar mengambil tempat di Tegalrejo. Di antara mereka ada penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kelak dalam Perang Jawa dikenal sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah. Sebelumnya ia mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan (masjid pribadi Sultan). Tokoh lainnya adalah Haji Badaruddin, komandan korps Suranatan yang sudah dua kali naik haji atas biaya Keraton dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Turki Utsmani.
Semakin kuatnya dominasi Inggris dan Belanda di Kesultanan Yogyakarta, pada akhirnya justru menjadikan Tegalrejo sebagai sebuah markplaats, yaitu tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan, serta tempat Ontowiryo alias Diponegoro memperoleh basis legitimasinya melalui pemufakatan sukarela dari kelompok yang berkepentingan.
Di usia yang masih belum genap 20 tahun, Pangeran Diponegoro mulai mempelajari berbagai cabang keilmuan. Dalam bidang fiqh, dia mempelajari kitab Taqrib karya Syaikh Abu Syuja’ al-Isfahani, Muharrar-nya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M) dan kitab Lubab al-Fiqh karya al-Mahamili (w. 415 H/1024 M). Di bidang politik, dia menggunakan kitab Taj al-Salatin dan Sirat al-Salatin. Karena terkesan dengan dua kitab ini, ia kemudian merekomendasikannya kepada adiknya, calon Sultan Hamengkubuwono IV, manakala sedang ditempa secara intelektual di Keraton. Selain itu, Pangeran Diponegoro mulai menyukai tasawuf dengan mengagumi kitab Topah alias al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri.
|
Kitab Taqrib |
Di samping mempelajari kitab-kitab di atas, Pangeran Diponegoro juga mempelajari etika seorang negarawan dan ketatanegaraan yang diadopsi dari karya klasik Arab dan Persia seperti At-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, dan Fatah al-Muluk, serta berbagai kitab adaptasi karya klasik seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha. Selain itu, teks lain yang diajarkan kepada sang pangeran adalah Joyo Lengkoro Wulang yang salinannya pernah ditemukan di markas besar pasukannya di Goa Selarong pada Oktober 1825. Naskah berbahasa Jawa ini menjelaskan aspek-aspek kenegarawanan dalam bentuk kisah seorang pangeran muda yang berkelana (lelono) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan banyak guru sekuler, guru agama, dan guru mistik.
Menurut Peter Carey, ini adalah teks yang memiliki daya tarik universal di antara elit Keraton, yang menjadi lambang cita-cita pendidikan ideal bagi para kesatria muda. Dalam Babad Diponegoro, otobiografi yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro, dirinya menceritakan bahwa pada usia 20 tahun, ia melakukan perjalanan lelana (berkelana) dari masjid ke masjid, dan dari perguruan (pesantren) ke perguruan (pesantren) di kawasan Yogyakarta. Maksud utama rangkaian kunjungannya adalah menyempurnakan pendidikan agama serta menemukan guru-guru yang layak menjadi pembimbing spiritualnya.
Untuk mendukung langkahnya ini, dirinya menyandang nama baru, yaitu Abdurrahim, yang ia pakai manakala berkelana. Ia juga memotong rambut panjangnya (yang menjadi adat kaum bangsawan saat itu), meninggalkan baju kebangsawanannya yang halus dan berbatik tulis dan menggantinya dengan baju putih tanpa kancing tak berkerah, sarung kasar, serta memakai sorban yang merupakan identitas santri pada saat itu.
Sejak itu mulailah ia menjadi santri pengembara selama beberapa bulan dengan mengunjungi perguruan, masjid, dan pesantren serta merasakan denyut nadi kehidupan para santri di dalamnya. Di antara pesantren yang dia kunjungi, antara lain: pesantren Gading, pesantren Grojogan, pesantren Sewon, pesantren Wonokromo, pesantren Jejeran, pesantren Turi, pesantren Pulo Kadang, dan kedua pathok nagari, pesantren Kasongan dan pesantren Dongkelan, semuanya terletak di arah selatan Yogyakarta.
Penulis: Raden Thomas Sugeng Sutaman