Usai menjalani perjalanan intelektual-spiritual di berbagai pesantren, dirinya melanjutkan pengembaraannya dengan melakukan laku tirakat dengan cara beruzlah. Tirakat ini memberikan suatu masa sepi saat seseorang membersihkan diri dari pamrih (dorongan hati dan ambisi pribadi tersembunyi). Lokasinya ada di beberapa tempat keramat dan di situ Pangeran Diponegoro mengalami pengalaman spiritual. Di Goa Song Kamal, di daerah Jejeran arah Selatan Yogyakarta, terjadi penampakan Sunan Kalijaga. Saat itu, salah satu dari sembilan Walisongo ini “menampakkan diri” di hadapan Pangeran Diponegoro dalam bentuk seorang yang bersinar bagai bulan purnama”, sekaligus memberikan kabar jika kelak Pangeran Diponegoro bakal menjadi raja (ratu). Sesudah menyampaikan kabar tersebut, penampakan sang sunan menghilang.
Usai bersemedi (bertafakur) di sini, Pangeran Diponegoro menyambung pengembaraannya dengan berziarah ke makam leluhurnya di Imogiri, makam para raja Mataram. Di sini, dengan pakaian yang sangat sederhana, dirinya masih dikenali oleh para juru kunci makam yang menghormatinya sebagai calon raja. Kelak, dalam Perang Jawa, para juru kunci makam Imogiri mayoritas mendukung langkah sang pangeran. Di Imogiri, Pangeran Diponegoro selama seminggu melakukan perziarahan dan semedi. Dari sini, dirinya melanjutkan pengembaraannya ke pantai Selatan dan menginap selama satu malam di Goa Siluman dan Goa Sigolo-Golo alias Surocolo, dua gua yang dianggap keramat bagi banyak orang.
Setelah melakukan semedi (tafakur) di dua goa ini, dirinya melanjutkan perjalanannya dengan mengunjungi Goa Langse selama dua minggu. Di goa ini, sebagaimana pengakuan Pangeran Diponegoro dalam otobiografinya, dirinya berjumpa dan bahkan berdialog dengan Nyi Roro Kidul. Ini adalah “pertemuan pertama”.
|
Goa Langse (Bantul) |
Dalam pertemuan berikutnya, berpuluh tahun kemudian, pada saat Perang Jawa berlangsung, sosok misterius yang masyhur dalam legenda Jawa sebagai penguasa Laut Selatan itu menawarkan bala bantuan kepada Diponegoro dengan syarat sang pangeran harus memohonkan kepada Allah agar Ratu Kidul kembali menjadi manusia dan dengan demikian mewujudkan pembebasannya dari nasib. Tawaran ini ditolak oleh Diponegoro, yang beralasan bahwa yang sanggup menentukan nasib hanyalah Allah SWT, serta dirinya tidak memerlukan bantuan dari dunia roh halus dalam peperangan melawan Belanda. Terlebih, sebagai muslim yang shalih, tujuan yang utama selama Perang Jawa adalah kemajuan agama, khususnya “meningkatkan keluhuran agama Islam di seluruh Jawa”, yang mencakup tidak sekadar ibadah Islam yang resmi tetapi juga tatanan moral umum.
Kelak, pengembaraan ini membuat simpul-simpul dukungan terhadap Pangeran Diponegoro semakin menguat. Sebagai pangeran senior, dia dapat menjalin hubungan dengan kalangan bangsawan; sebagai penganut tasawuf, dia dapat menjalin relasi harmonis dengan komunitas santri dan jaringan sufi; serta sebagai penduduk desa dirinya dapat menjalin hubungan dengan rakyat desa. Sebagai seorang pengecam kondisi di Jawa tengah, dia pun menjadi pusat kesetiaan bagi orang-orang yang merasa tidak puas.
Penulis: Raden Thomas Sugeng Sutaman
ADS HERE !!!