Suatu malam, Imam Bukhari menjual barang miliknya dan ada seseorang menawar dengan harga 500 ribu. Pagi harinya, ada orang lain yang menawar dengan harga yang lebih mahal, yaitu 1 juta. Akan tetapi, Imam Bukhari memberikan barang miliknya tersebut kepada orang yang menawar 500 ribu.
Ditanyakan, “Kenapa engkau memberikan barang milikmu kepada orang yang menawar lebih murah?”. Imam Bukhari menjawab, “Saya dahulukan orang yang menawar pertama, bukan masalah mahal atau murahnya. Karena niat saya menjual barang saya mulai dari tadi malam, sebab saya tidak suka membatalkan niat”.
Orang tua Imam Bukhari dikenal orang yang kaya raya, bahkan saat Imam Bukhari masih remaja, beliau dibelikan orangtuanya sebidang tanah di daerah Madinah. Dari hasil sebidang tanah itu, Imam Bukhari mendapat pendapatan sebesar 5 juta per-bulan. Uang sebesar itu sering dihabiskan beliau untuk membeli kitab. Ditanyakan, “Kenapa engkau sering habiskan uang sebesar itu untuk membeli kitab?”. Dijawab oleh beliau, “Segala sesuatu di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih abadi”.
Suatu hari, Imam Bukhari sedang menulis hadits, tiba-tiba seorang pembantunya (budaknya) menabrak beliau. Pembantu tersebut ditanya, “Kenapa engkau berjalan sampai menabrak tintaku sampai tumpah”. Ia menjawab, “Salahnya, jalan yang biasa dilewati kok buat menulis kitab”. Beliau berkata, “Oh begitu, pergilah, mulai hari ini engkau merdeka”. Ia menyahut, “Kenapa engkau merdekakan aku, padahal aku yang buat salah?”. Beliau menjelaskan, “Aku ingin memaksa diriku untuk latihan berbuat baik dan memaafkan, kalau aku marah malah tidak jadi berbuat baik”.
Imam Bukhari setiap mengajar ngaji, wajahnya berbinar-binar karena senangnya. Imam Bukhari memiliki tradisi pada setiap selesai mengajar santri-santrinya, beliau sering memberi sedekah kepada santri-santrinya. Ditanyakan, “Kenapa setiap selesai mengajar, engkau sering sedekah kepada para santri?”, beliau menjawab, “Saya sangat senang ditakdirkan Allah bisa mengajar ngaji”.
Setiap beliau akan mengajar hadits kepada para santri atau pengikutnya, beliau menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makanan yang enak dan menyiapkan juga uang banyak untuk disedekahkan kepada mereka. Salah satu santri bertanya, “Mereka datang ingin ngaji hadits kepadamu, namun mengapa engkau malah memberi mereka sedekah?”. Beliau menjawab, “Aku ingin mengajar mereka juga bersedekah untuk mereka, agar aku mendapat kebaikan mengajar juga kebaikan bersedekah”.
Imam Bukhari pernah berkata, “Aku berdoa (urusan duniawi) dua kali, dan Allah langsung mengabulkan keduanya. Kemudian setelah itu, aku tidak berdoa (urusan duniawi) lagi, sebab aku khawatir setiap doaku dikabulkan lalu kebaikanku akan hilang”.
Diceritakan, saat Imam Bukhari sedang menunaikan shalat tiba-tiba seekor kumbang menyengat tubuh beliau sebanyak 17 kali. Akan tetapi, beliau tidak membatalkan shalatnya. Usai shalat, beliau bertanya-tanya, “Tadi, saat shalat sepertinya ada menggigit saya, itu apa ya?”. Ternyata beliau digigit seekor kumbang sebanyak 17 kali. Ditanyakan, “Kenapa tidak engkau batalkan shalatnya?”, beliau menjawab, “Aku terlanjur membaca Al-Qur’an, dan aku tidak mau memotong ayatnya”.
|
Makam Imam Bukhari |
Suatu waktu, Imam Bukhari membangun rumah, banyak santri dan pengikutnya ikut membantu beliau. Akan tetapi, beliau pun tetap ikut angkat-angkat barang (bata atau batu) untuk proses pembangunan itu walaupun beliau seorang ulama yang menjadi panutan para santri dan pengikutnya. Ditanya santrinya, “Wahai Syekh, engkau tidak usah angkat-angkat?”, beliau menjawab, “Ikut angkat-angkat adalah manfaat bagiku seperti saat Nabi membangun Masjid Quba”. Kemudian beliau menyembelih seekor sapi sebagai syukuran untuk para santri dan pengikutnya yang berjumlah 100 orang.
Saat bulan Ramadhan, Imam Bukhari menunaikan shalat tarawih dengan membaca Al-Qur’an pada setiap rakaat 20 ayat hingga selesai tarawih dengan khatam 30 juz.
Dulu, ketika Imam Bukhari menulis hadits pada malam hari beliau menggunakan penerangan berupa sejenis lampu minyak. Beliau mempersiapkan dan menyalakan lampu sendiri walaupun memiliki santri. Di dekatnya beliau ada seorang santri yang sedang tidur. Setiap beberapa menit lampu itu mati lalu dinyalakan lagi sendiri sampai 20 kali. Lama-kelamaan si santri terbangun, lalu berkata kepada gurunya itu, “Engkau kepayahan menyalakan lampu beberapa kali, kok tidak membangunkan saya”. Beliau menjawab, “Engkau masih muda, pantasnya tidur saja”.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari ceramah KH. Baha’uddin Nursalim (Gus Baha’) di akun youtube