Dialah Umair bin Sa’ad. Seorang Anshar yang berbaiat kepada Nabi Muhammad ketika usianya masih belia. Umair dikenal sebagai seorang sahabat yang ahli ibadah. Selalu berada di barisan pertama ketika shalat. Pun ketika berperang, ia selalu mengejar barisan terdepan karena mendambakan bisa mati syahid.
Usia Umair bin Sa’ad baru sekitar 10 tahun -dan sudah yatim- ketika umat Muslim mempersiapkan Perang Tabuk. Nabi Muhammad menyerukan kepada seluruh umat Islam Madinah berperang dan menyumbang apa saja yang dimiliki untuk persiapan perang melawan pasukan Romawi tersebut. Saat itu, keadaan begitu genting. Di tengah musim kemarau, umat Muslim harus mengumpulkan logistik dan menempuh perjalanan jauh ke utara untuk menghalau pasukan Romawi.
Di saat sebagian umat Muslim bahu-membahu mendukung persiapan Perang Tabuk, sekelompok kaum munafik menyebarkan provokasi untuk memecah-belah persatuan umat Islam Madinah. Salah satu tokoh kaum munafik yang melakukan hal itu bernama Julas bin Suwaid. Orang yang merawat Umair semenjak ayahnya, Sa’ad, wafat dalam sebuah pertempuran. Saking akrabnya, Julas sudah menganggap Umair sebagai anak sendiri. Begitu pun sebaliknya.
Di tengah persiapan Perang Tabuk, Julas mengatakan sesuatu yang tidak pantas tentang Nabi Muhammad, bahkan bernada merendahkan. Memang, Julas saat itu memeluk Islam namun karena terbawa ‘arus saja’, mengingat banyak penduduk Madinah yang masuk Islam setelah Nabi Muhammad hijrah ke sana.
“Jika yang diucapkan Muhammad itu benar, niscaya kita lebih buruk dibandingkan keledai,” kata Julas, dikutip dari buku Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah (Nizar Abazhah, 2011).
Mendengar perkataan Julas seperti itu, Umair menjadi begitu marah kepada ayah angkatnya tersebut. Dia tidak terima dengan perkataan Julas yang meragukan kebenaran Nabi Muhammad. Julas yang merasa keceplosan meminta Umair agar tidak melaporkan perkataannya itu kepada siapapun, terutama Nabi Muhammad.
Di sini, Umar merasa bimbang. Apakah dia menyimpan saja ucapan munafik yang dikatakan ayah angkatnya atau melaporkan kemunafikan Julas kepada Nabi Muhammad. Setelah berpikir cukup dalam, Umair akhirnya menemui Nabi dan menyampaikan kemunafikan Julas kepadanya. Julas dipanggil untuk mengklarifikasi ucapannya itu. Namun dia menyangkalnya dan menganggap bohong laporan Umair. Julas sampai bersumpah atas nama Tuhan untuk menguatkan penyangkalannya itu.
Ketika itu posisi Umair terpojok. Semua orang hampir percaya dengan Julas dan menganggap Umair berbohong. Untung, beberapa saat kemudian Nabi Muhammad menerima wahyu Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 74: “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai."
"Dan tak ada yang menimbulkan dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya. Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang lebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi.”
Turunnya ayat itu menjadi kabar gembira bagi Umair bin Sa’ad. Apa yang dilaporkannya tentang kemunafikan Julas telah dibenarkan langsung oleh Allah sehingga Julas bin Suwaid tidak bisa mengelak lagi. Dia kemudian mengaku bersalah dan bertobat.
“Telingamu bisa dipercaya wahai anak muda. Tuhan membenarkanmu,” kata Nabi Muhammad kepada Umair.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!