Khalifah Ali bin Abu Thalib membuat keputusan besar. Khalifah keempat ini memindahkan ibu kota negara dari Madinah (Arab Saudi) ke Kufah (Irak). Tindakan ini luar biasa berani karena tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Rasulullah saw. dan ketiga Khalifah awal, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Ini cara Sayyidina Ali melakukan pemisahan urusan politik dan agama. Apa yang melatarbelakangi keputusan itu? Mari kita simak penjelasannya.
Khalifah Utsman terbunuh pada tanggal 17 Juni tahun 656 M. Khalifah berusia 79 tahun ini berkuasa selama 12 tahun. Kabarnya, enam tahun pertama dilalui pemerintahannya dengan gemilang. Namun, karena tidak ada pembatasan masa jabatan, Khalifah Utsman terus berkuasa, meski usianya sudah sepuh dan beliau tidak lagi sepenuhnya dapat mengontrol negara yang sudah meluas melewati jazirah Arab.
Singkat cerita, ketidakpuasan meletus dan pemberontak membunuh Khalifah di rumahnya saat beliau tengah membaca Al-Qur’an.
Pemberontak dari Mesir tersebut menguasai Madinah selama 5 hari, dan sampai hari ketiga, jenazah Khalifah Utsman tidak bisa dikuburkan. Akhirnya, jasad beliau berhasil dikuburkan di tempat yang tidak biasa, bukan di dekat kuburan Nabi dan dua khalifah sebelumnya. Sayyidina Ali kemudian dibaiat menjadi Khalifah keempat pada 24 Juni 656 M. atau hari ketujuh setelah wafatnya Khalifah Utsman, meski Sayyidina Ali sebelumnya menolak dipilih.
Namun, kemudian muncul suara-suara yang menggugat pemilihan Sayyidina Ali karena hanya sedikit sahabat besar yang tersisa di Madinah. Meluasnya kekuasaan Islam membuat para sahabat menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Muawiyah yang menjadi Gubernur di Damaskus. Mereka merasa suara mereka tidak didengar dan tidak terwakili dalam pemilihan Sayyidina Ali sebagai khalifah.
Dua sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair, bergerak ke Mekkah. Istri Nabi, Siti Aisyah, tengah melakukan umrah di Mekkah ketika Khalifah Utsman terbunuh. Mendengar Sayyidina Ali yang terpilih menjadi Khalifah, Siti Aisyah memutuskan bertahan tinggal di Mekkah dan bersama-sama penduduk Mekkah meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh Khalifah Utsman.
Khalifah Ali meminta umat untuk cooling down terlebih dahulu. Keengganan Khalifah Ali memenuhi tuntutan itu membuat beliau dituduh terlibat di belakang pemberontakan yang mengakibatkan wafatnya Khalifah Utsman. Kemudian Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah bergerak ke Basrah (Irak) bersama pasukannya untuk memobilisasi massa melawan Khalifah Ali.
Khalifah Ali meminta penduduk Madinah bersiap perang. Mereka tidak segera merespons permintaan Khalifah Ali. Butuh waktu untuk Khalifah Ali mengumpulkan relawan bergerak ke Basrah. Singkat cerita, terjadilah peperangan antara menantu Nabi, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan istri Nabi, Siti Aisyah. Pasukan Ali berjumlah 20 ribu dan pasukan Siti Aisyah berjumlah 30 ribu.
Dikabarkan tidak kurang dari 18 ribu umat Islam dari kedua belah pihak terbunuh dalam perang saudara ini, termasuk Thalhah dan Zubair, dan 3 ribu lainnya terluka.
Selepas perang yang dimenangkan Khalifah Ali, Siti Aisyah diantar kembali ke Madinah dengan penghormatan dan pengawalan lengkap. Namun, pilihan untuk Khalifah Ali hendak ke mana sekarang?
Kembali ke Madinah ketika suasana masih tidak kondusif mengingat pendukung Khalifah Utsman masih membara dan istri Nabi Siti Aisyah yang baru saja dikalahkan dalam pertempuran juga akan menetap di Madinah. Tentu tidak nyaman Khalifah Ali kembali ke Madinah.
Bagaimana kalau ke Damaskus? Tidak mungkin! Muawiyah berkuasa di sana dan sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Khalifah Ali. Atau ke Mekkah saja? Tidak mungkin. Siti Aisyah berhasil memulai perlawanannya justru dari Mekkah dengan dukungan 3000 relawan dan bantuan Gubernur Mekkah.
Bagaimana kalau ke Basrah? Meskipun Khalifah Ali menang perang, namun sebelum beliau tiba di Basrah, Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah telah lebih dulu meraih simpati dan dukungan penduduk Basrah. Basrah dan Mekkah bukan pilihan bijak.
Maka, Khalifah Ali memutuskan untuk menetap di Kufah dan sekaligus memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Selain latar belakang kondisi sosial politik di atas, tindakan Khalifah Ali ini luar biasa dampaknya. Beliau belajar dari masuknya pemberontak ke Ibu Kota Madinah yang telah mengotori kesucian kota Madinah.
Politik kekuasaan di kota Nabi yang suci sungguh tak terbayangkan. Pemindahan ibu kota dari kota suci Nabi ke wilayah yang cukup jauh, yaitu Kufah (Irak), membuat simbol agama (Madinah) dipisahkan dengan persoalan politik. Secara tidak langsung, Khalifah Ali telah berusaha menarik batas antara agama dan politik.
Khalifah Ali juga tidak mengambil kesempatan memindahkan ibu kota ke Mekkah, karena kalau terjadi penyerangan maka Ka’bah menjadi taruhannya. Terbukti kelak pada masa Dinasti Umayyah ketika Abdullah bin Zubair memisahkan diri dari Dinasti Umayyah dan menjadikan Mekkah sebagai pusat pergerakannya, keponakan Siti Aisyah ini bukan saja terbunuh di sekitar Ka’bah tapi kota Mekkah diserang panah berapi dan diblokade selama 6 bulan oleh pasukan al-Hajjaj bin Yusuf.
Ironisnya, bukan saja banyak penduduk Mekkah dan jamaah haji yang terbunuh, tapi Ka’bah pun sempat terbakar akibat serangan panah api. Inilah akibatnya kalau politik kekuasaan dilakukan di kota suci Mekkah. Jadi, sudah sangat tepat Khalifah Ali memindahkan ibu kota ke Kufah.
Empat bulan kemudian perang saudara kedua pecah. Peperangan antara pasukan Gubernur Muawiyah dari Damaskus dan pasukan Khalifah Ali dari Kufah berlangsung di daerah Shiffin. Perang saudara terjadi, namun dua kota suci Mekkah dan Madinah aman. Sekali lagi, pemindahan ibu kota adalah upaya menjaga agar kesucian Ka’bah dan Masjid Nabawi agar tidak tercemar oleh pertarungan kekuasaan.
Sumber: nadirhosen.net