Bersama Pangeran Diponegoro, para ulama bahu membahu melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Mereka berasal dari berbagai perguruan Islam (pesantren) di wilayah kerajaan Mataram. Para ulama ini menempati posisi vital dalam kesatuan tempur Pangeran Diponegoro sehingga mampu menggerakkan rakyat untuk berjihad fi sabilillah melawan penjajahan.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, kredo perjuangan diubah dengan berpegang teguh pada QS. At-Taubah: 122. Perubahan strategi ini dijalankan dengan cara yang khas; dari perjuangan bersenjata pedang, beralih ke perjuangan di bidang pendidikan, sehingga kelak, dari metode ini lahir ribuan pejuang yang bukan hanya mahir dalam berbagai ilmu agama, melainkan juga tangguh di medan perang kemerdekaan.
Bagi pihak penjajah, Perang Jawa (1825 - 1830) adalah medan perang mengerikan karena membuat bangkrut pihaknya dan menyebabkan ribuan serdadu koalisi Eropa berkalang tanah di Jawa. Saat itu, Pangeran Diponegoro didukung oleh barisan bangsawan, milisi lokal (Jawa, Madura, Bali, dan Bugis), serta ribuan santri dan ratusan ulama. Faktor terakhir ini yang membuat Belanda pusing, sebab mereka sadar keberadaan ulama di jantung masyarakat akan membuat bara perlawanan terhadap kolonialisme tetap menyala.
Dalam karyanya, “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855”, Peter Carey menulis, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh (ustadz), 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Pangeran Diponegoro. Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual - intelektual sang pangeran.
Menurut sejarawan asal Inggris yang telah meneliti perjuangan Pangeran Diponegoro sejak 30 tahun silam itu, dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Pangeran Diponegoro sering mengunjungi dan belajar di berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta, serta ditempa secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng (istri Sultan HB ke-1) yang dikenal shalihah.
Nenek buyut Pangeran Diponegoro ini selain dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan agama Islam, juga dihormati karena keperkasaannya saat mendampingi Sultan Hamengku Buwono I ketika berjuang menghadapi Belanda selama Perang Giyanti (1746 - 1755).
Ratu Ageng, yang suka membaca kitab berbahasa Arab (kitab kuning) dan Jawa (Arab Pegon), juga menjadi komandan pertama barisan perempuan pengawal raja alias korps prajurit estri, satu-satunya formasi militer yang membuat Daendels (Jenderal Belanda) terkesan manakala berkunjung ke Keraton ini pada Juli 1809. Demikian tulis Peter Carey dalam karyanya yang lain, “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”. Carey menengarai, didikan dari perempuan hebat inilah yang membuat Raden Mas Ontowiryo nama kecil Pangeran Diponegoro mampu berpikir kritis menyikapi dominasi Belanda di Keraton Yogyakarta serta membuatnya mampu mengenal dekat jejaring para ulama di wilayah Mataram.
|
Makam Kiai Mojo di Minahasa |
Kelak, jaringan inilah yang menopang perjuangan Pangeran Diponegoro. Sebagian dari mereka berdampingan dengan kelompok bangsawan di kesatuan tempur Pangeran Diponegoro. Meskipun bergerilya, pengajian tetap digelar. Beberapa ulama saling silih berganti menjadi pengajar bagi ulama yang lain, dan juga bagi para komandan pasukan.
Kiai Mojo, salah satu penasehat Pangeran Diponegoro, mengajar kitab Fath al-Wahhab karya Syaikh Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) kepada para kiai lain dan juga kepada para komandan pasukan. “Bahkan, kitab fiqh ini dijadikan sebagai rujukan dalam bernegosiasi dengan kompeni Belanda saat mengajukan perundingan damai.” tulis Ahmad Baso dalam “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia”.
Penulis: Raden Thomas Sugeng Sutaman
ADS HERE !!!