Ketika membahas sosok Ra Lilur, kita seakan dihadapkan kepada lautan tak bertepi. Ketawadhu’an, kesederhanaan, dan ribuan keajaiban yang beliau miliki masih saja dikenang banyak orang hingga detik ini.
Saya melakukan napak tilas sejarah beliau dengan mengunjungi desa Banjar Galis Bangkalan, tempat dimana Ra Lilur menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelumnya salah satu pengurus Ponpes Syaichona Cholil menghadiahkan untuk saya buku biografi Ra Lilur yang disusun Team Aschol -jazahumullah khair- berjudul “Ra Lilur: Antara Dimensi Wali dan Sufi”.
Ra Lilur yang Alim dan Kutu Kitab
Dari buku itu serta kisah-kisah yang saya dengar langsung dari khodim Ra Lilur, banyak sisi kehidupan beliau yang tidak saya ketahui sebelumnya, terutama tentang kealiman beliau. Selama ini banyak yang meyakini bahwa lautan ilmu yang Ra Lilur miliki adalah murni ilmu ladunni. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa beliau hanya pernah nyantri beberapa bulan saja di Sidogiri.
Tapi dibalik semua itu, banyak yang tidak mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang kutu kitab. Beliau bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk muthola’ah kitab. Ketika saya bertanya kepada Hj. Mus, salah satu khodim beliau tentang apa saja aktivitas sehari-hari Ra Lilur, Hj. Mus menjawab:
“Ya berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan membaca kitab. Bahkan kalau bulan Ramadhan semalaman beliau tidak tidur dan berjam-jam membaca kitab.”
Yang lebih mengagumkan, meski sehari-hari beliau memakai kaos singlet putih dan celana pendek hitam layaknya seorang petani, ketika beliau membaca kitab -apalagi jika beliau baru saja mendapatkan kitab baru- beliau langsung berwudhu’, berbusana lengkap dengan sorbannya, menghadap kiblat lantas mulai membaca kitab itu sampai khatam. Sebuah wujud ta’dzim dan penghormatan terhadap ilmu yang begitu luar biasa.
Tak heran jika Ra Lilur dikenal bisa menghafal ibarot-ibarot kitab kuning diluar kepala. Pernah suatu hari KH. Mas Ali Ridho dan Mas Muhammad Sidogiri sowan kepada beliau. Kala itu kediaman Ra Lilur gelap gulita karena semua jendela ditutup dan tak ada lampu sama sekali. Tiba-tiba saja Ra Lilur mulai melafalkan beberapa kalimat dalam bahasa Arab :
“بسم الله الرحمن الرحيم .. قال شيخ الإسلام .. الخ “
Mas Ali Ridho tentu bertanya-tanya kalimat-kalimat apa yang dilafadzkan Ra Lilur itu. Bunyinya lebih mirip dengan isi sebuah kitab. Betul saja, ternyata yang dibaca Ra Lilur di tengah kegelapan itu adalah muqoddimah kitab Fathul Wahab.
Kesederhanaan dan Ketawadhuan
Ra Lilur juga dikenang sebagai sosok yang super sederhana dan tawadhu’, selain karena penampilan beliau yang memang biasa-biasa saja, hanya memakai kaos putih dan celana pendek setiap harinya, beliau juga tak pernah sungkan bermain kelereng dengan anak-anak kecil atau bermain bola dengan masyarakat sekitarnya. Beliau bahkan pernah menjadi sutradara sebuah drama dalam acara yang juga dihadiri KH. Kholil Ag dan KH. Zubair Muntashor.
Untuk urusan kezuhudan beliau mungkin sudah mencapai taraf tertinggi. Taraf dimana harta, emas dan permata dalam pandangan beliau tak ubahnya tanah dan batu. Menurut kesaksian Kiai Bujairimi -salah satu khodim beliau- suatu hari Ra Lilur mendapat sungkeman uang yang lumayan banyak dari para nelayan. Tapi bukannya menyimpan uang-uang itu di lemari, beliau malah menelantarkannya di pagar-pagar dan pohon pisang sekitar rumahnya.
Ketika Ra Lilur dan Gus Dur Bertemu
Pada awal tahun 2002, setelah lengser dari tahta kepresidenan, Gus Dur pergi ke Bangkalan untuk sowan kepada Ra Lilur. Uniknya ketika duduk bersama, keduanya memakai bahasa daerahnya masing-masing. Ra Lilur memakai bahasa Madura khas sedangkan Gus Dur memakai bahasa Jawa. Meski begitu beliau berdua terlihat saling memahami dan nyambung satu sama lain. Kala itu Gus Dur curhat pada Ra Lilur bahwa ia baru saja dikhianati oleh kawan politiknya. Ra Lilur menjawab:
“Iyeh be’eng jiyah lok engak dek Mbah Kholil. Lok toman nyelase dek Mbah Kholil”. (Iya.. Itu karena Anda lupa ke Mbah Kholil, tidak pernah berziarah ke Mbah Kholil).”
Di akhir pertemuan Ra Lilur memberi uang, minyak tawon dan sebuah wiridan untuk Gus Dur.
Sekitar tahun 2008, Gus Dur sowan lagi kepada Ra Lilur, kala itu beliau ditemani pak Ahmadi -cagub Jatim waktu itu. Pada pertemuan itu Ra Lilur malah berdoa dengan bahasa yang tidak bisa dipahami oleh tamu-tamunya. Ketika ditanyakan kepada Mbak Yenny Wahid, ia menjawab, “Kata bapak, itu adalah bahasa Ibrani.”
Karomah dan Keajaiban Ra Lilur
Ini mungkin adalah sisi yang paling menonjol dari Ra Lilur. Beliau adalah sosok yang unik, misterius dan sulit ditebak. Banyak keajaiban yang pernah diriwayatkan tentang beliau, mulai dari mobil yang beliau tumpangi bisa berjalan hanya dengan diisi dua botol Sprite, kebiasaan beliau tidur dan bertapa di tengah lautan, kefasihan beliau dalam berbahasa Mandarin, hingga kemampuan beliau memberi suatu isyarat tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Pada tahun 1995, menjelang kelahiran Muhammad Ismail Al-Ascholy (En). Ra Lilur tiba-tiba saja mengirim surat berbahasa Arab kepada abah En, KH. Mas Ali Ridho yang intinya meminta beliau untuk menulis terjemah kitab Alfiah. Ketika baru seperempat jalan menjalankan tugas dari Ra Lilur, Mas Ali Ridho berangkat Umrah. beliau lantas menanyakan kepada seorang ulama di Mekkah tentang arti perintah Ra Lilur itu. Ulama itu menjawab bahwa itu adalah pertanda bahwa Mas Ali Ridho akan mempunyai putra setelah 8 tahun tidak mempunyai keturunan.
Benar saja, tak lama setelah itu Ny. Muthmainnah hamil. Akan tetapi berita gembira ini disimpan rapat-rapat oleh keluarga. Waktu itu hanya KH. Abdullah Schal, Ny. Sumtin, dan ummi Mas Ali Ridho yang tahu. Meski begitu, pada bulan ke 4 kehamilan Ny. Mut, Ra Lilur tiba-tiba mengirim air kemasan ke Demangan melalui H. Husni dengan pesan:
“Berikan air ini ke Kak La (KH. Abdullah Schal). Minumkanlah kepada putrinya yang hamil itu, minumkan juga pada si bayi jika ia sudah lahir.”
Tentunya KH. Mas Ali Ridho kaget dan bertanya-tanya bagaimana bisa Ra Lilur tahu berita yang sangat dirahasiakan itu?
Menurut saya, perintah Ra Lilur kepada KH. Ali Ridho itu bukan hanya isyarat beliau akan mendapatkan seorang putra. Lebih dari itu Ra Lilur sudah memberikan kode bahwa kelak putranya itu akan menjadi seorang penulis hebat. Sekarang terbukti sudah, Sang Putra Muhammad Ismail Al-Ascholy berhasil menjadi seorang penulis produktif yang mempunyai karangan puluhan nazham dan kitab berbahasa Arab pada usia yang masih sangat muda.
|
Ra Lilur (cicit Syaikhona Kholil Bangkalan) |
Kepergian Sang Waliyyullah
“Sebelum beliau wafat apakah beliau pernah mengeluh sakit?” tanya saya kepada Hj. Mus, khodim yang menyaksikan detik-detik meninggalnya Ra Lilur.
“Tidak. Pada malam itu bahkan beliau masih sempat bercanda bersama kami. Beliau meminta kami untuk membaca shalawat. Minimal seratus kali.”
Di malam itu Ra Lilur memang tiba-tiba berkata kepada Hj. Mus dan keluarganya yang ada di Musholla, “Ayo turun semua. Sekarang malam terakhir. Sebagai manusia perbanyaklah membaca shalawat.”
Beliau lalu tidur-tiduran di samping musholla sambil memandang khodimnya dengan senyuman yang begitu indah. Sang khodim tentu heran melihat gelagat aneh Ra Lilur itu.
Beliau lalu mengganti pakaiannya, padahal beliau sangat jarang mengganti pakaian di malam hari. Beliau kemudian berkata kepada sang khodim, “Saya mau tidur ya. Saya jangan ditinggal. Jangan kemana-mana.”
“Tumben panjenengan minta saya untuk tetap disini, Yai? Biasanya njenengan kan meminta saya untuk keluar ketika mau tidur?” tanya khodimnya.
Ra Lilur diam tak menjawab. Beliau lalu rebahan, menselonjorkan kedua kakinya, bersedekap, menarik nafas dua kali lalu menghembuskannya. Hembusan nafas yang ternyata adalah yang terakhir dari Sang Waliyyullah.
Malam itu, sekitar pukul 22:00, Selasa 24 Rajab 1439 H. Tidak ada yang menyangka bahwa Ra Lilur wafat. Beliau akhirnya benar-benar tidur dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Setelah sepanjang hidupnya beliau telah berjuang untuk menjauhi dan meninggalkan gemerlap dunia dengan hati, perilaku dan pikirannya.
Sebuah akhir yang tidak mengejutkan untuk sosok seperti beliau. Akhir yang begitu indah tanpa rasa sakit, seakan beliau memang benar-benar berpamitan untuk tidur dan beristirahat sejenak. Setahun setelah kepergianmu. Mudah-mudahan kami masih bisa meniti jejak-jejak luhur yang kau tinggalkan untuk kami di sini.
Kami hanya berharap, dengan cinta yang setetes ini, pendosa seperti kami kelak masih bisa dipertemukan dan dikumpulkan bersama golonganmu para kekasih Allah disana. Sekali lagi, Allah yarhamak Ya Siidi, wa yuqoddis sirrak.
Penulis: Ismael Amin Kholil, Bangkalan, 25 Rajab, 1440 H.
Sumber: tebuireng.online