Tak banyak yang tahu, beberapa saat sebelum Allah mengutus baginda Muhammad sebagai Rasul, bangsa Arab sebetulnya telah mengenal sejumlah Nabi. Sebagaimana layaknya Nabi, orang-orang ini juga dibekali kemampuan istimewa; sesuatu yang luar biasa (khariq al-‘adah).
Nabi yang pertama berdomisili di Yaman. Bangsa arab saat itu, termasuk kabilah Quraisy di Kota Makkah, mengenal orang ini sebagai Rahman al-Yamamah (Penguasa Kota Yamamah). Itulah memang julukannya, atau setidaknya begitulah ia menyeru umat untuk mengenang dirinya. Salah satu mukjizatnya adalah, seperti diilustrasikan Al-Jahizh dalam kitab Al-Hayawan, memasukkan telur ke dalam botol.
Bayangkan, sebutir telur dapat diselipkannya ke dalam botol melalui celah yang amat sempit. Masya Allah, orang Yamamah pun terkagum-kagum, dan selanjutnya mereka pasrah buta; mengikuti ‘syariat’ Nabi yang konon melegalkan minuman keras dan perzinahan.
Musailamah, nama orang itu, hidup di tiga zaman. Usianya yang mencapai 150 tahun mampu membuatnya bertemu dengan masa sebelum, sedang, dan sesudah Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul. Ia bahkan sempat bertemu dan mengajak sang Rasul berbagi (sharing) kenabian, yang tentu saja beliau tolak mentah-mentah. Nabi bahkan, dalam sebuah surat balasan yang dikirim untuknya, menyebutnya sebagai al-Kaddzab (pendusta besar).
Musailamah ternyata Nabi palsu. Ia tumpas di tangan Wahsyi, yang juga pernah membantai Sayyid Hamzah (salah seorang paman Rasulullah), melalui sebuah ekspedisi bernama Perang Yamamah di masa kepemimpinan Abu Bakar. Belakangan diketahui, keistimewaan Musailamah berasal dari trik-trik sulap yang ia pelajari di pasar-pasar Abalah, Laqqah, Al-Anbar, dan lain-lain. Seperti kata Al-Jahizh, Musailamah memang menguasai teknik-teknik semacam Nayirjat (ilusi mata), Sadanah (trik yang dipakai para penjaga berhala untuk mengelabui penyembahnya), Hawwa’ (pawang ular), kecepatan tangan, dan sebagainya.
Nabi berikutnya bernama Khalid bin Sinan al-Abbasi. Tidak seperti Musailamah, Khalid bukan manusia yang gila kuasa. Ia juga jauh dari sifat seorang nabi palsu, meski status kenabiannya masih diperdebatkan.
Dalam al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, Imam Ibn al-Jauzi menceritakan riwayat Ibn Abbas bahwa:
“Muncul api di sebuah lembah di antara Makkah dan Madinah. Sebagian orang menyembah api itu. Maka seorang lelaki, dari klan Abbas, bernama Khalid bin Sinan, pergi memadamkannya. Sebelum itu ia sempat berpesan kepada sejumlah orang yang menemaninya,
‘Kalau aku mati, kuburkanlah aku di tempat itu. Sampai sekira satu tahun, datangilah makamku. Jika kalian melihat keledai tak berekor, galilah makamku. Aku akan hidup lagi, dan akan kuberi kabar kepada kalian tentang kebaikan dunia dan akhirat.’
Api itu padam, Khalid wafat, dan setelah setahun, tidak seorang pun memenuhi wasiatnya. Khalid pun dibiarkan terkubur begitu saja.”
Menurut al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran, api yang dipadamkan Khalid waktu itu terkenal dengan nama Nar al-Hadtsan (api kejadian). Tidak seperti api biasa, api ini muncul dari celah-celah gua (magharah) yang kerap melahap nyawa manusia. Syahdan, Khalid berhasil memadamkannya berkat bantuan Malaikat Malik, penjaga neraka.
Peristiwa itu terjadi sebelum Nabi diangkat sebagai Rasul. Maka setelah keterutusan Nabi (bi’tsah), tidak lama setelah hijrah, seorang perempuan mendatangi beliau, memperkenalkan diri, “Saya anak Khalid bin Sinan”. Nabi bertanya, “Khalid bin Sinan Al-‘Abbasi?” Perempuan itu mengangguk. Nabi lantas menabikkan selamat datang kepadanya, dan kepada para sahabat, beliau bersabda, “Inilah putri saudaraku, Khalid bin Sinan, sosok Nabi yang disia-siakan oleh kaumnya (dhayya’ahu qaumuh).”
Putri Khalid bin Sinan ini pun masuk Islam. Kelak, pada saat penaklukan kota Mesir, salah satu putranya yang bernama Ka’ab bin Yasar bin Dhannah ditawari menduduki jabatan Qadhi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sayang, seperti dikabarkan Imam Al-Suyuthi dalam Husn al-Muhadharah fi Tarikh Mishra wa Qahirah, ia menolak.
Perdebatan soal kenabian Khalid bin Sinan bermula dari penafsiran Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 19:
“Hai ahli kitab sesungguhnya telah datang kepadamu utusan Kami yang menjelaskan (syariat Kami) untukmu pada saat terputusnya (pengiriman) rasul-rasul.”
Pada umumnya, ahli tafsir memaknai diksi rasuluna dalam ayat di atas dengan Nabi Muhammad. Sebab beliaulah yang memutus mata rantai kekosongan rasul, atau lazim disebut masa fatrah, pasca diutusnya Nabi Isa As. Ini seperti ditunjukkan Syeikh Ibn ‘Ajibah dalam al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, mengutip sebuah hadits dalam Shahih Bukhari, Nabi bersabda, “Aku lebih utama dari Isa di dunia maupun di akhirat, dan diantara kita berdua tidak ada Nabi.”
Agak berbeda, Imam Al-Razi berpendapat bahwa rasuluna yang dimaksud ayat di atas adalah Nabi yang diutus pada masa-masa fatrah, bukan Rasul yang memungkasi masa fatrah. Ini berarti terdapat Nabi dalam tempo-tempo jeda antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad.
Disokong oleh diantaranya riwayat Imam Al-Qurthubi dari Abi Khaitsamah dan penafsiran Imam al-Zamakhsyari dalam al-Kassyaf, Imam al-Razi mengutip pernyataan al-Kalabi, “Nabi Musa dan Nabi Isa berjarak 1700 tahun. Di antara mereka terdapat 2000 orang Nabi. Sementara jarak antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad adalah kurang lebih 600 tahun. Diantara mereka terdapat empat orang Nabi; tiga orang dari Bani Israel, dan satu orang berkebangsaan arab, yakni Khalid bin Sinan al-‘Abbasi.”
Perdebatan ihwal status kenabian sosok tertentu sebetulnya tidak hanya terjadi pada Khalid bin Sinan. Bahkan pada figur-figur yang namanya dengan tegas disebut dalam al-Quran pun terjadi ikhtilaf. Figur Lukman al-Hakim, umpamanya. Seperti disebut dalam al-Ma’arif, karya Imam al-Dainuri, budak kulit hitam asal Habasyah kepunyaan salah seorang Bani Israel itu umumnya tidak ditandai sebagai Nabi. Namun Said bin al-Musayyib, salah seorang Tabiin, dengan tegas menyatakan Lukman adalah Nabi.
Yang menakjubkan adalah belakangan muncul gagasan yang menyatakan bahwa Sidharta Gautama (atau kelak juga dikenal sebagai Budha) adalah seorang muwahhid (monoteis). Bahkan, diantaranya menurut Hamid Abdul Qadir, pengarang Budha al-Akbar; Hayatuhu wa Falsafatuh, ia sebetulnya Nabiyullah Dzul Kifli.
Dalam kepercayaan Budha, Gautama atau Sakyamuni adalah mantan penguasa Kapilawastu yang melepas atribut duniawiah-nya. Ia kemudian memperoleh pencerahan (ke-budha-an atau wahyu) setelah ‘bertapa’ di bawah Pohon Bodhi.
Menurut al-Qasimi, dalam Mafhum al-Tafsir wa al-Takwil alias Tafsir al-Qasimi, pohon bodhi yang dimaksud di situ adalah apa yang disebut al-Quran sebagai syajarah tin (pohon tin) dalam Surat al-Tin. Ini adalah pohon surga yang ditanam bersamaan dengan Nabi Adam turun ke bumi.
Penafsiran al-Qasimi amat menarik, sebab dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi pernah menjelaskan bahwa lokasi pertama yang diinjak oleh Nabi Adam adalah sebuah gunung bernama Budha, yang berada di Sarandib alias Srilanka. Salah seorang putri Nabi Adam bernama Labudha, dan berkorelasi dengan kata Al-Budha. Menurut Imam Al-Alusi, dalam Rauh al-Ma’ani, nama anak Adam al-budha tersebut berarti pencerahan akal. Imam Al-Kirmani juga menunjukkan pendapat bahwa Dzul Kifli adalah semacam lelaki pertapa yang beribadah kepada Allah di dalam goa.
Dari sini kemudian muncul teori bahwa Dzul Kifli sebetulnya bukan nama orang, melainkan laqab (julukan). Bagi Hamid Abdul Qadir, Kifli di sana tak lain mu’arrab (pengaraban) dari Kapila, yang merupakan kependekan dari Kapilawastu. Dan dengan demikian, Dzul Kifli sebetulnya bermakna “yang empunya Kapilawastu” atau “Penguasa Kapilawastu”, yakni Sidharta Gautama.
Kalau analisis di atas tepat, maka bukan mustahil tokoh-tokoh yang diagungkan di dunia timur, seperti misalnya Konfusius atau Lao Tze atau bahkan Zoroaster, adalah juga Nabi. Hanya saja, di tangan para pengikutnya, syariat mereka kemudian mengalami perubahan (hirafah). Dalam keyakinan Islam, bahkan agama-agama besar macam Yahudi dan Nasrani, atau umumnya disebut agama samawi, pun mengalami penyimpangan. Itulah salah satu fungsi Islam, sebagai naskh (revisi) total atas syariat agama sebelumnya.
Di sinilah pula letak rasionalitas gagasan Kiai Agus Sunyoto, yang dalam bukunya Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, menyebut Dang Hyang Semar sebagai tokoh sejarah (yang diabadikan dalam citra pewayangan) atau bahkan Nabi keturunan Adam yang diutus untuk tanah Jawa. Ajaran yang dibawa oleh Semar adalah ajaran Tauhid bernama Kapitayan, yang menyifati Allah sebagai Tan Kena Kinaya Ngapa, Tan Kena Kinira (tak bisa diperumpamakan, tak dapat diperkirakan), mirip dengan ajaran laisa kamitslihi syai’ dalam Islam.
Orang bisa saja tidak yakin dengan gagasan di atas. Dalam hal Nabi Dzul Kifli, misalnya, terdapat banyak penafsiran. Dalam Ma’alim al-Tanzil, karya Imam al-Baghawi, Dzul Kifli diidentifikasi sebagai Yehezkiel (Hazkiyal), tokoh yang disebut dalam Perjanjian Lama. Imam Al-Maqdisi, dalam al-Bad’ wa al-Tarikh, mengidentifikasi Dzul Kifli dengan Yusa’ bin Nun, orang yang menemani Nabi Musa dalam perjalanan mencari Nabi Khidir. Sementara Imam Baihaqi, dalam Dalail al-Nubuwwah, menyitir pendapat Imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, guru Imam Sibawaih, bahwa:
“Terdapat lima nabi yang memiliki dua nama; (1) Nabi kita Muhammad, yang juga bernama Ahmad; (2) Isa dan Al-Masih; (3) Ya’qub dan Israil; (4) Yunus dan Dzun Nun; (5) Ilyas dan Dzul Kifli.”
|
Ilustrasi Sidharta Gautama |
Demikianlah, menurut doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, secara umum seorang muslim wajib mempercayai kenyataan bahwa Allah mengutus Nabi dan Rasul. Dalam konteks tafshil (terperinci), orang hanya wajib meyakini bahwa 25 orang yang disepakati sebagai Nabi adalah betul-betul Nabi, bukan tukang sihir atau tukang becak, umpamanya. Di sini, Dzul Kifli tetap mesti kita percaya sebagai Nabi, tak peduli siapa sebetulnya hakikat persona ini di dalam sejarah.
Satu hal menjadi jelas, manusia-manusia digdaya yang kemudian kita sebut sebagai Nabi itu pastilah membawa ayat-ayat, bukti kekuasaan Tuhan. Ini seperti termaktub dalam al-Quran surat Ghafir ayat 78:
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah.”
Wallahu a’lam bis shawab.
Penulis: KH Lukman Hakim Husnan, dosen STIQ Al-Lathifiyah Palembang.
Sumber: bangkitmedia.com