Brani Kulon, Kecamatan Kraksaan, Probolinggo Jawa Timur pernah hidup seorang habib yang berumur panjang. Dialah Habib Husein bin Hadi bin Salim yang wafat pada usia 124 tahun. Kunci berumur panjang habib yang berdakwah di Brani Kulon ini adalah ia selalu istiqomah shalat Subuh berjamaah dan gemar melakukan jalan kaki sekitar 1 jam. Habib ini gemar berjalan kaki sekitar satu jam untuk menyegarkan tubuh dan melancarkan peredaran darah dalam tubuh sembari berdakwah di sekitar desa-desa di kecamatan Kraksaan.
Setiap tempat yang ia lalui selalu mendatangkan rahmah. Ia berjalan kaki keliling dari rumah ke rumah di sekitar Brani dari kampung ke kampung atau ke pasar. Udara yang segar yang dihirup membuat kesegaran tubuh menjadi tetap prima.
Selain itu, hidupnya senantiasa penuh husnudhan (baik sangka) kepada Allah dan sesama manusia. Pernah suatu ketika ia ditanya, kenapa ia tidak mempunyai penyakit.
“Di hati saya tidak ada sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap orang lain,” jawabnya.
Habib Husein lahir di Hadramaut, Yaman Selatan pada 1862 M dari pasangan Habib Hadi bin Salim Al Hamid dan Ummu Hani. Sedari kecil, ia dididik langsung kedua orang tuanya. Habib Hadi dikenal sebagai ulama dan wali yang kesohor di Hadramaut.
Hingga usia 86 tahun, Habib Husain masih tinggal di Hadramaut. Bagi orang sekarang, usia 86 tahun sudah memasuki usia senja, saat ketika orang sudah mulai kehilangan kekuatan dna gairah hidup. Namun bagi Habib Husain , itu tergolong mudah. Kekuatan nya tidak jauh berbeda dengan pemuda pada umumnya . Itulah salah satu kelebihan habib Husein.
Pada usia tersebut, atau tepatnya tahun 1929 M ia masih senang mengembara ke berbagai negeri. Termasuk ke Gujarat dengan menggunakan kapal laut, bersama saudagar-saudagar Arab yang berdagang melalang buana ke berbagai negeri. Sejak itulah Habib Husein meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi ke sana.
Sekita dua tahun, Habib Husein tinggal di Gujarat, India. Selama di Gujarat ia berguru kepada ulama setempat dan berdagang. Setelah itu ia kembali mengembara. Dua kali ia ke Indonesia, namun dengan menggunakan kapal saudagar yang menuju Batavia. Tak berapa lama, ia mengembara lagi ke berbagai daerah dan akhirnya sampai ke Pekalongan. Di kota ini Habib Husein kemudian berguru kepada seorang wali besar yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas, hingga bebebrapa tahun lamanya.
Kepada auliya Pekalongan itu, Habib Husein selain berguru ilmu lahir, ia juga mendalami ilmu batin. Sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian yang mumpuni, ia kemudian dihadiahi sebuah sorban (kain putih) dan kopiah putih dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas.
Atas perintah Habib Ahmad, Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Muhammad Al Muhdor, yang tidak lain adalah guru Habib Ahmad bin Badullah bin Tholib Alattas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa mendapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah.
Salah satunya, menyebarkan dakwah ke Brani Kulon kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Ia masuk ke desa terpencil itu sekitar tahun 1939. Saat itu, kondisi desa Brani masih berupa hutan belantara dan menjadi sarang penyamun. Tampaknya Habib Husein memang sengaja ditugasi untuk menyadarkan para penyamun untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Setelah tinggal di Brani Kulon, ia langsung menyebarkan dakawah, dan dakwahnya itu diterima secara luas ke seluruh pelosok Kabupaten Probolinggo.
Namun sebelumnya Habib Husein harus membabat hutan terlebih dahulu, bahkan hidup menumpang pada salah satu penduduk setempat. Hingga ia berhasil mendirikan sebuah pesantren kecil, yang di kemudian hari dikenal sebagai pesantren Ahlus Sunnah Wal Jamaah Brani Kulon. Dan di desa itu pula dalam usia 90 tahun ia mengakhiri masa lajangnya.
Dalam sebuah perjalanan bersama para habib dari berziarah ke makam Habib Husein bin Abdullah Alaydrus (keramat Luar Batang, penjaringan Jakarta Utara) Habib Husein di dalam sebuah kereta pernah dipaksa menyerahkan tempat duduknya oleh seorang pemuda kumal dan hanya memakai kaos oblong, Habib Husein kemudian berdiri.
Setelah berdialog beberapa saat dan Habib Husein kemudian memberi bekal uang yang tersisa kepada pemuda tersebut, tiba-tiba pemuda asing itu menghilang begitu saja. Kepada teman-teman Habib Husein mendapatinya sendirian dan menanyakan kepada pemuda tersebut, Habib Husein berkata, “ Dia itu sebenarnya adalah Nabiullah Khidir.”
Amaliah Habib Husein tentu saja tidak hanya beribadah kepada Allah ia juga menjalin hubungan dengan sesama manusia. Sering Habib Husein berjalan-jalan ke pasar dan melihat barang dagangan tidak habis terjual atau malah tidak terjual sama sekali. Ia tidak segan-segan memborong barang dagangan tersebut agar si pedagang tidak menderita kerugian. Dengan keseimbangan amaliah tersebut, dakwahnya diterima dengan baik oleh masyarakat luas.
Tidak hanya soal keilmuan, para santri Ponpes Ahlus Sunnah Brani Kulon sangata percaya maqam kewalian Habib Husein mendekati maqam Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani.
Ihwal ia mendapat maqam kewalian setinggi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani diketahui ketika Habib Ahmad bin Soleh Al Haddad (Situbondo) salah seorang sahabatnya bermunajat kepada Allah agar bertemu Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian ia bermimpi dan dalam mimpinya ia dipertemukan dengan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang bersorban putih. Ketika didekati, ternyata wajah itu adalah wajah Habib Husein bin Hadi Al Hamid.
Pada awalnya Habib Ahmad bin Soleh Al-Hadad Situbondo tidak yakin wajah yang terlihat itu adalah wajah Habib Husein ia kemudian bermunajat lagi. Dan sampai tiga kali dalam mimpinya wajahnya selalu sama, wajah Habib Husein bin Hadi Al-Hamid. Ahirnya Habib Ahmad menemui Habib Husein di Brani dan meminta ijazah sekaligus dijadikan murid.
Habib Husein kerap dikunjungi para Habib di jamanya, seperti Habib Soleh Tanggul (Jember), salah seorang Pejuang RI. Habib Husein juga mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih (Malang) dan lain-lain.
Habib Abdullah pernah tidak akan datang pada haul Habib Husein, karena sakit. Saat tertidur ia bermimpi didatangi Al Faqih Muqaddam dan Syaikh Abu Bakar bin Salim, keduanya (almarhum) wali di Yaman, ”Datanglah ke Haul Habib Husein di Brani, karena kami berdua juga hadir.”
|
Habib Husein bin Hadi Al-Hamid |
Selepas terbangun dari mimpinya, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih langsung menuju Brani untuk menghadiri Haul Habub Husein. Anehnya, penyakitnya langsung sembuh. Sejak itulah Habib Abdullah jarang terkena penyakit, dan selalu menghadiri Haul Habib Husein di Brani sampai akhir hayatnya.
Bahkan karena kedekatannya Habib Husein dengan Habib Abdullah, di kemudian hari anak cucu keturunan habib Husein banyak masuk ke Ponpes Darul Hadis Malang seperti Habib Muhammad Shodiq, Habib Abdul Qadir, Habib Salim. Sekarang pesantren peninggalan Habib Husein diasuh oleh Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein Al Hamid.
Tamu-tamu dari mancanegara yang pernah berkunjung ke Brani diantaranya Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (mufti Jeddah) dan Sayyid Alwi Al Maliki Al Hasani (Makkah). Setelah Habib Husein wafat, banyak juga ulama dan wali Allah yang berkunjung ke Brani diantaranya Habib Umar Al Hafidz, Habib Musa Al Kadzim (Hadramaut Yaman).
Habib Husein wafat pada hari Jumat Legi 11 Shofar 1406 H/25 Januari 1986. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Al Mubarok, Kompleks Ponpes Ahlus Sunnah Wal Jamaah Brani Kulon, Kecamatan Maron, Probolingo Jawa Timur.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com