Seorang pemuda yang masih belia tampak begitu kelelahan dan kehausan. Maka tatkala tiba di suatu oase yang bening airnya dengan tanaman rindang di sekelilingnya, penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan turun di tempat tersebut. Ia berbaring, lalu meletakkan sebuah bungkusan di sampingnya.
Matahari sangat terik, namun di situ amat teduh, sehingga tanpa sengaja ia tertidur pulas setelah memuaskan dahaganya dengan meminum air bening di oase tadi.
Ketika ia terjaga, matahari mulai condong. Ia sedang mengejar waktu karena ibunya sakit keras. Tampaknya ia anak seorang yang kaya raya, terlihat dari pakaiannya yang mewah dan kudanya yang mahal. Dengan tergesa-gesa ia melompat ke punggung kuda dan bungkusannya tertinggal karena ia hanya berpikir untuk segera tiba di rumah menunggui ibunya yang sedang sekarat. Bapaknya sudah meninggal dibunuh orang beberapa tahun yang lalu.
Tidak lama setelah ia meninggalkan tempat tersebut, seorang penggembala lewat di tempat tersebut. ia terkesima melihat ada sebuah bungkusan kain tergeletak di bawah pohon. Diambilnya bungkusan itu, lalu dibawanya pulang ke gubuknya yang buruk.
Alangkah gembiranya hati si anak gembala tersebut tatkala melihat bungkusan tersebut ternyata isinya emas dan perak yang sangat berharga. Ia yatim piatu dan masih kecil sehingga penemuan itu di anggapnya merupakan hadiah baginya.
Tak berapa lama, seorang kakek yang sudah bungkuk berjalan terseok-seok melalui oase tadi. Karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon yang rimbun. Belum sempat ia melepas lelah, anak muda penunggang kuda yang tertidur sebelumnya di bawah pohon tadi datang hendak mengambil bungkusan yang tertinggal.
Tatkala ia sampai, alangkah terkejutnya pemuda tersebut melihat bahwa di pohon tersebut tidak lagi menemukan bungkusan kain. Yang nampak hanyalah seorang kakek. Maka pemuda itu dengan suara keras bertanya kepada si kakek, “Mana bungkusan yang tadi di sini?”
“Saya tidak tahu,” jawab kakek dengan gemetar.
“Jangan bohong!” bentak si Pemuda.
“Sungguh, waktu saya tiba di sini, tidak ada apa-apa kecuali kotoran kambing,” jawab si kakek.
“Kurang ajar! Kamu mau mempermainkan aku? Pasti engkau yang mengambil bungkusanku dan menyembunyikan di suatu tempat. Ayo kembalikan!”
“Bungkusan itu baru kuambil dari kawan ayahku sebagai warisan yang telah dititipkan ayahku kepadanya untuk diserahkan kepadaku kalau aku sudah dewasa, yaitu sekarang ini. Kembalikan!” lanjut si Pemuda
“Sumpah tuan, saya tidak tahu,” sahut kakek tersebut makin ketakutan.
“Kurang ajar! Bohong! Ayo serahkan kembali. Bila tidak, tahu rasa nanti” hardik Pemuda tadi.
Karena kakek itu tidak tahu apa-apa, maka ia tetap bersikeras tidak melihat bungkusan tersebut. Si Pemuda tidak bisa dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Dicabutnya pedang pendek dari pinggangnya dan akhirnya kakek tadi dibunuhnya. Setelah itu ia mencari kesana-kemari mencari bungkusan yang ia tinggalkan. Akan tetapi tidak ditemukan. Setelah itu ia naik ke punggung kuda dan memacunya ke rumahnya dengan perasaan marah dan kecewa.
Berita ini ditanyakan kepada Nabi Musa oleh salah seorang muridnya.
“Wahai Nabiyullah, bukankah cerita tersebut justru menunjukan ketidakadilan Allah?”
“Maksudmu ?” tanya Nabi Musa.
“Kakek itu tidak berdosa tetapi menanggung malapetaka yang tidak patut diterimanya. Sedangkan si anak gembala yang mengantongi harta tadi malah bebas tidak mendapatkan balasan yang setimpal”.
“Menurutmu Tuhan tidak adil ?” ucap Nabi Musa terbelalak.
“Masya Allah. Dengarkan baik-baik latar belakang ceritanya”. Kemudian Nabi Musa pun bercerita.
“Ketahuilah, dahulu ada seorang petani hartawan dirampok semua perhiasan harta benda miliknya oleh dua orang bandit yang kejam. Setelah berhasil merampok, harta itu dibagi dua oleh perampok tersebut. Dalam pembagian harta rampokan tersebut terjadi kecurangan oleh salah seorang bandit yang tamak sehingga harta rampokkan tersebut dikuasainya sendiri setelah membunuh kawannya. Bandit yang tamak itu adalah kakek yang dibunuh oleh pemuda tadi. Sedangkan bandit yang dibunuh oleh kakek itu adalah ayah dari pemuda yang membunuh kakek tadi. Di sini berarti nyawa dibayar nyawa. Sedangkan petani yang hartawan itu adalah ayah dari si pemuda gembala tadi yang mengambil bungkusan kain tadi. Itulah keadilan Tuhan. Harta kekayaan telah kembali kepada yang berhak dan kejahatan dua bandit tadi telah memperoleh balasan yang setimpal. Meskipun peristiwanya tidak berlangsung tepat pada masanya”.
Hikmah Yang Bisa Dipetik Dari Kisah Diatas
Marilah kita melihat sejenak ke belakang. Ke masa lalu. Apakah kita pernah melakukan sebuah kesalahan? Minta maaf lah. Carilah ridho dari orang yang pernah kita dzalimi. Mungkin bukan kita yang akan merasakan dampak buruk kesalahan kita. Bisa jadi anak kita ataupun cucu-cucu kita.
Apapun yang sudah kita lakukan entah itu adalah sebuah kebaikan ataupun sebuah keburukan. Pasti akan ada balasan yang setimpal bagi para pelakunya.
Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa ‘Alaa Aali Sayyidina Muhammad.
Penulis: Muhammad Alfatih Sukardi
Sumber: bangkitmedia.com