Dua puluh satu tahun lamanya ia belajar di Tanah Suci. Sebagian besar–yakni 16 tahun di antaranya–digunakan untuk mempelajari qira’ah sab’ah (tujuh seni bacaan Al-Qur’an). Awal abad XX, ia kembali ke kampung halamannya: Kauman di jantung Kota Yogyakarta. Dialah KH. Muhammad Munawwir. Ayahnya bernama KH. Abdullah Rosyad. Kakeknya, KH. Hasan Bashari, adalah salah satu asisten utama Pangeran Diponegoro. Pahlawan nasional yang kondang dengan Perang Jawa pada kurun 1825-1830.
Istilah “Kauman” sendiri konon berasal dari Bahasa Arab “qaimuddin” yang berarti “penegak agama”. Ada juga yang menyebut kata Kauman berasal dari “qaum” yang berarti golongan. Dan di kampung ini memang ghirah keislaman begitu kuat.
Kiai Munawwir tinggal di kediamannya tepatnya di Kampung Kauman Gang IV Nomor 276 Gondomanan. Maka di Kauman waktu itu ada dua kiai besar. Pasalnya Kiai Munawwir memang bertetangga dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Keduanya dikenal sebagai sosok alim, cerdas dan memikat saat berdakwah. Keduanya digandrungi banyak jamaah.
Kiai Munawwir menyelenggarakan pengajiannya di musholla kecil miliknya yang kini menjadi Gedung Nasyiatul Aisyiyah, badan otonom Muhammadiyah. Sementara Kiai Ahmad Dahlan memilih musholla di sebelah utara Masjid Gedhe Kauman. Semakin hari kian banyak jamaah berjubel di dua majelis tersebut. Dan pilihan besar diambil Kiai Munawwir: ia lebih memilih ‘mengalah’ kemudian menetapkan hati untuk tinggal di Krapyak, di luar lingkungan Kraton Yogyakarta.
Adalah Kiai Said dari Gedongan Cirebon yang turut andil dalam keputusan besar tersebut. Kiai Said yang juga kakek KH. Mahrus Ali Lirboyo Kediri dan buyut Kang Said (Ketum PBNU saat ini) berpendapat bahwa Kiai Munawwir harus pindah dari Kauman. Alasannya paling tidak ada empat: lahan di Kauman sangat terbatas, jumlah santri yang datang ingin mengaji semakin banyak, adanya tradisi sebo yang mengharuskan penghuni Kauman dan kompleks Kraton melakukan penghormatan di hadapan Sultan, dan yang terakhir tampaknya beliau enggan dianggap menyaingi Kiai Ahmad Dahlan.
Sikap mengalah yang ditunjukkan Kiai Munawwir menjadi bukti kebesaran jiwanya. Ia mulai membangun semuanya dari nol. Uang untuk membeli lahan merupakan sedekah dari Haji Ali asal Graksan Cirebon. Sebidang tanah di Krapyak awalnya milik Ki Jopanggung (kependekan dari Jogo Panggung alias penjaga panggung yang oleh sebagian masyarakat dikenal Kandang Menjangan tempat Sultan Yogya mengintai rusa tempo dulu).
Kiai Munawwir lantas mulai membangun rumah, musholla dan kamar santri. Tentu dengan kondisi serba terbatas, sangat sederhana. Seorang pemuda dari Kudus menjadi tangan kanan Kiai Munawwir dalam urusan pembangunan. Kelak pemuda itu berkat ridlo dari sang guru dikenal juga sebagai ahli qira’ah sab’ah: KH. Arwani Amin Kudus.
Dan terbukti pilihan Kiai Munawwir untuk mengalah dan menetap di pinggiran kota adalah keputusan tepat. Di Krapyak inilah Kiai Munawwir melahirkan ribuan kiai ahli qur’an. Metode pengajaran Al-Qur’an yang ia terapkan menjadi rujukan di hampir semua pesantren Al-Qur’an di Jawa. Tak berlebihan jika Kiai Munawwir ditahbiskan sebagai sosok Mahaguru Pesantren Al-Qur’an.
Inilah hikmah terbesar pilihannya untuk hijrah dari Kauman. Sikap mengalah yang berujung pada derasnya jariyah mengalir kepada beliau seiring para santri di Krapyak nderes qur’an hingga kini dan nanti. Teruntukmu wahai mahaguru lahul fatihah…
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!