Kendati kadang bisa mengira-ngira, setiap orang sejatinya tidak tahu pasti bagaimana dan apa yang bakal terjadi pada hari esok. Ada orang yang hari ini bersuka cita, secara mendadak besok pagi mengalami duka. Begitu pula sebaliknya, detik ini berduka, satu jam kemudian berubah menjadi sangat gembira. Betapa banyak orang yang justru tidak kuat saat diuji dengan kebahagiaan daripada diuji dengan kesusahan. Padahal, keadaan bahagia, susah, hidup, maupun mati, masing-masing merupakan cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, yang mesti disikapi dengan bijak.
“(Allah) adalah Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, mana di antara kalian yang paling bagus amalnya” (QS. Al-Mulk: 2).
Di antara kelebihan dengan orang yang kesusahan atau mengalami himpitan hidup yang memuncak, jika ia terlatih dengan benar, adalah kepasrahan diri (tawakal) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal tersebut juga dialami Nabi Musa a’alaihissalam.
Nabi Musa adalah seorang nabi yang mempunyai kekuatan tubuh luar biasa. Diceritakan, saat ingin memisahkan dua orang yang sedang berkelahi, Nabi Musa memukul salah satu dari mereka. Sekali pukul saja ternyata membuat orang itu wafat. Kekuatan Nabi Musa juga tergambar kala ia mengangkat batu superbesar. Bekas bongkahan batu yang ia angkat konon cukup dibuat minum 12 kelompok kambing sekaligus.
Begitu hebatnya Nabi Musa, ia pun pernah mengalami himpitan hidup yang luar biasa. Nabi Musa bersama kaumnya, Bani Israil, pernah lari tunggang langgang lantaran dikejar-kejar Fir’aun dan bala tentaranya. Masalah datang ketika rombongan Nabi Musa sampai di pinggir lautan. Dalam kondisi terjepit inilah, tawakal Nabi Musa memuncak.
Allah pun menolong Nabi Musa. Allah memerintahnya memukulkan tongkat yang biasa ia gunakan berjalan dan menggembala kambing ke arah lautan. Ajaib, atas izin Allah, tongkat biasa itu ternyata sanggup membelah lautan.
Apa doa yang dibaca Nabi Musa saat melintasi lautan itu? Rasulullah saw. pernah mengungkapkan doa itu melalui hadits yang diriwayatkan oleh A’masy dari Syaqiq dari Abdullah bin Mas’ud. Kata Rasulullah:
أَلَا أُعَلِّمُكَ الْكَلِمَاتِ الَّتِي تَكَلَّمَ بِهَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حِينَ جَاوَزَ الْبَحْرَ بِبَنِي إِسْرَائِيلَ؟ فَقُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَإِلَيْكَ الْمُشْتَكَى، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.
“Maukah kamu kuajari tentang kaliamt-kalimat yang dibaca oleh Musa as. ketika ia melintasi lautan bersama Bani Israil?” Kami menjawab, tentu, ya Rasulallah.” Kemudian Rasul menjawab, “Bacalah allâhumma lakal hamdu wailaikal musytaka, wa antal musta’ân, wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil adzîmi” (ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, hanya kepada-Mu Dzat yang dimintai pertolongan. Tidak ada kekuatan untuk menjalankan sebuah ketaatan dan menghindari kemaksiatan kecuali pertolongan Allah yang maha Agung).
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ شَقِيقٌ: وَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ. قَالَ الْأَعْمَشُ: وَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ شَقِيقٍ. قَالَ الْأَعْمَشُ: فَأَتَانِي آتٍ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ: يَا سُلَيْمَانُ , زِدْ فِي الْكَلِمَاتِ: وَنَسْتَعِينُكَ عَلَى فَسَادٍ فِينَا , وَنَسْأَلُكَ صَلَاحَ أَمْرِنَا كُلَّهُ
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan doa tersebut sejak saya mendengar doa itu dari Rasulullah.” Kata Syaqiq, “Aku tidak pernah meninggalkan doa tersebut sejak saya mendengar doa itu dari Abdullah.” Kata A’masy, “Aku tidak pernah meninggalkan doa tersebut sejak saya mendengar doa itu dari Syaqiq.”
Kata A’masy, “Kemudian ada orang yang datang kepadaku saat aku tidur. Ada yang mengatakan, ‘Tambahilah kalimat berikut ‘wa nasta’înuka ‘alâ fasâdin fînâ’ wa nas’aluka shalâha amrina kullahu’ (dan kami meminta pertolongan Engkau atas kerusakan yang ada pada kami, dan kami minta Engkau atas kebaikan semua urusan kami’,” (At-Thabarani, Al-Mu’jam as-Shaghir, juz 1, hal. 211).
Doa tersebut juga bisa dibaca ketika kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghimpit. Harapannya, ada “keajaiban” yang langsung datang sebagai jalan keluar dari Allah. Redaksi doa itu berisi pujian kepada Allah, pengakuan ketakberdayaan diri, serta permohonan pertolongan. Tempat mengadu paling tepat adalah Allah, bukan manusia.
Meyakini bahwa Allah penyelesai masalah itu sangat penting sehingga apa pun masalahnya, kita akan mengadukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana pula yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub alaihis salam. Ketika putra kesayangan yang bernama Yusuf hilang, ia sangat bersedih hati. Nabi Ya’qub pun mengadukan cobaan berat itu kepada Allah. Hal ini dikutip dalam Al-Qur’an:
“Dia (Ya’qub) menjawab ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’.” (QS. Yusuf: 86).
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU