Di musim kemarau, potensi kebakaran lebih besar dari musim lainnya. Salah satu contohnya adalah kebakaran hutan di Kalimantan. Karena itu, Rasulullah mengajarkan kita beberapa doa agar selamat dari kebakaran. Berikut doa-doanya:
Pertama, doa yang diriwayatkan Imam al-Nasai (shahih):
عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ السُّلَمِيِّ هَكَذَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَدْمِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْغَرَقِ وَالْحَرِيقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا
“Dari Abu al-Aswad al-Sulami, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa: “Allahumma innî a’ûdzu bika minal hadmi, wa a’ûdzu bika minat taraddi, wa a’ûdzu bika minal gharqi wal harîqi, wa a’ûdzu biki an yatakhabbathanîsy syaithânu ‘indal mauti, wa a’ûdzu bika an amûta fî sabîlika mudbiran, wa a’ûdzu bika an amûta ladîghan” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tertimpa reruntuhan. Aku berlindung kepada-Mu dari jatuh dari tempat yang tinggi. Aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam dan kebakaran. Aku berlindung kepada-Mu dari bujuk rayu setan ketika (menjelang) kematian (sakaratul maut). Aku berlindung kepada-Mu dari mati di jalan-Mu dalam keadaan melarikan diri. Aku berlindung kepada-Mu dari mati karena sengatan binatang.” (Imam al-Nasa’i, Sunan al-Nasâ’i bi Syarh al-Hâfidz Jalâl al-Dîn al-Suyûthî wa Hâsyiyah al-Imâm al-Sindî, juz 8, hal. 678)
Doa di atas termasuk dalam kategori doa “isti’âdzah” (memohon perlindungan). Kalimatnya terdiri dari “a’ûdzu bika” yang berarti “aku berlindung kepada-Mu.” Dari sekian banyak permohonan perlindungan, “al-harîq” (kebakaran) termasuk di dalamnya. Artinya, doa ini memiliki cakupan yang luas; ada tertimpa reruntuhan, bencana longsor bisa masuk di sini; ada jatuh dari tempat yang tinggi, sehingga cocok untuk pemanjat tebing dan pendaki; ada tenggelam, dan lain sebagainya.
Karena itu, doa ini bisa dibaca siapa saja, baik yang hendak melakukan kerja-kerja sosial seperti relawan bencana dan tim penyelamat, ataupun oleh para pecinta alam, atlet oleh raga, dan peneliti lapangan agar terselamatkan dari bencana-bencana yang tidak dikehendaki tersebut.
Kelebihan doa isti’âdzah adalah ia seperti benteng yang melindungi kita. Sebab, tidak jarang musibah atau bencana terjadi karena ulah manusia, baik karena kelalaian diri kita sendiri maupun perilaku buruk orang lain, misalnya kebakaran hutan, pencemaran air laut, pencemaran lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dengan membaca doa ini, paling tidak ada kesadaran lain yang muncul dalam diri kita, jika kita sepenuh harap memohon perlindungan dari Allah, sudah sepantasnya kita juga jangan sampai menjadi penyebab musibah yang menimpa orang lain, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan alam.
Kedua, bacaan atau amalan yang diriwayatkan Imam Ibnu Sunni (w. 364 H). Ada empat jalur periwayatan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, keempatnya menggunakan redaksi yang sama. Karena itu hanya akan dikemukakan satu saja. Rasulullah bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْحَرِيْقَ فَكَبِّرُوا فَإِنَّ التَّكْبِيْرَ يُطْفِئُهُ
“Jika kalian melihat kebakaran, maka bertakbirlah. Sesungguhnya takbir memadamkan kebakaran.” (Imam Ibnu Sunni, ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, hal. 184-185)
Dalam Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr min Ahâdits, maksud dari “takbîr” dalam hadits di atas adalah mengucapkan “Allâhu Akbar” (Allah Mahabesar) secara berulang-ulang dengan lantang, tulus karena Allah, patuh terhadap perintah-Nya dan mengharap penuh atas keagungan kekuasaan-Nya. Itupun tidak cukup, harus dibarengi dengan kamâl ikhlâsh (sempurnanya ketulusan), quwwati îqân (kuatnya keyakinan), dan takhshîsh al-takbîr (pengkhususan takbir) sebagai pernyataan bahwa sesungguhnya ada Dia yang lebih besar dari segala sesuatu, yang akan membuat api padam (Imam Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr min Ahâdits, juz 1, hal. 462).
Di samping itu, selain menjelaskan hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Sunni, Imam al-Munawi juga menambahkan amalan yang dapat memadamkan api, selain menyarankan untuk membaca, “hasbunâllah wa ni’mal wakîl” seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika dilemparkan ke dalam api, ia juga mengutip Imam al-Thabari:
وفي تفسير الطبري إذا كتبت أسماء أصحاب الكهف في شئ وألقى في النار طفئت
“Dalam Tafsîr al-Thabarî (dikatakan), jika ditulis nama-nama Ashabul Kahfi dalam sesuatu, dan dilemparkan ke dalam api, padamlah api itu” (Imam Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr min Ahâdits, juz 1, hal. 462-463).
Dari segi kedudukan, hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Sunni tidak shahih seperti hadits pertama. Imam al-Munawi mengatakan, “isnâduhu dla’if lakin lahu syawâhid minha” (isnadnya lemah tapi hadits ini memiliki banyak pendukung). (Imam Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr min Ahâdits, juz 1, hal. 463).
Artinya, ada banyak sahabat yang meriwayatkan hadits ini dengan ragam perbedaan redaksinya. Untuk lebih jelas, silahkan baca Kasyf al-Khâfa wa Muzîl al-Ilbâsnya Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni. Contohnya riwayat Imam al-Thabrani yang menggunakan kalimat (jalur ‘Amru bin Syu’aib):
إِذَا رَأيْتُمُ الْحَرِيْق فَكَبِّرُوا فَإِنَّهُ يُطْفِئُهُ
“Jika kalian melihat kebakaran, maka bertakbirlah. Sesungguhnya takbir memadamkan kebakaran.”
Beberapa riwayat lain yang redaksinya berbeda adalah (jalur Sayyidina Abu Hurairah radliyallahu a'nh,). Yang pertama diriwayatkan Imam al-Thabrani, dan yang kedua diriwayatkan Imam al-Baihaqi):
“Padamkanlah kebakaran dengan takbir.”
إستَعِينُوا علي إِطفَاء الحريق بالتكبير
“Mintalah pertolongan untuk memadamkan kebakaran dengan takbir” (Syekh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khâfa wa Muzîl al-Ilbâs, juz 1, hal. 107).
Pada intinya, doa adalah sesuatu yang harus kita lakukan setiap saat. Karena doa dapat mengulang kesadaran kita akan keterbatasan kemampuan kita. Tanpa doa kita lalai, dengan doa kita pandai dalam merasa, menyadari dan berupaya. Jadi, berdoalah sebelum musibah menimpa kita, gunakan doa “isti’âdzah” (memohon perlindungan) untuk ini. Jika musibah sudah terlanjur terjadi, berdoalah dengan mengakui keagungan Allah, dengan pengakuan yang tulus, bersih dan jujur, yaitu dengan cara mengecilkan diri kita sendiri. Karena “takbîr” (pengagungan) tanpa pengecilan diri, tidak akan sampai pada kesempurnaan ketulusan, dan kekuatan keyakinan.
Maka, mari berdoa untuk hutan yang telah terbakar; untuk selamatnya tempat yang kita huni, negara yang kita tinggali, dan tanah yang kita sujudi, dari bencana, dan dari apapun yang akan merusakkannya.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU