Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai kiai sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH. Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH. Hamid Pasuruan. Di tempat Gus Ud Pagerwojo Sidoarjo, Gus Miek bertemu dengan KH. Achmad Shidiq yang usianya lebih tua. KH. Achmad Shidiq ini di kemudian hari sering menentang tradisi sufi Gus Miek, tetapi akhirnya menjadi kawan karibnya di majelis dzikrul ghafilin.
Kebiasaan Gus Miek pergi keluar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhirnya ayahnya memintanya ngaji ke Lirboyo, Kediri dibawah asuhan KH. Machrus Ali, yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya.
Di Lirboyo Gus Miek bertahan hanya 16 hari dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin.
Tapi beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempatnya KH. Dalhar Watucongol, mengunjungi Mbah Jogoreso Gunungpring, KH. Arwani Kudus, KH. Ashari Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran, dan Mbah Benu Yogyakarta. Setelah itu Gus Miek pulang lagi ke Ploso.
Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirya ia menikah dengan Zaenab, putri KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun. Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.
Suatu hari Gus Miek berjalan-jalan dari tempat diskotek dan berhasil membuat satu orang bertaubat. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan seorang perempuan yang amat cantik. Gus Miek tertarik akan kecantikan gadis itu.
Lalu diikutinya gadis itu sampai pada rumahnya. Dan pada saat itu Gus Miek jatuh hati pada gadis itu dan mencari tahu tentang gadis itu. Setelah tahu tentang gadis itu Gus Miek berniat melamar lalu menikahi gadis cantik itu.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya yang akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong itu ditolak kedua orangtuanya, KH. Jazuli Utsman dan Nyai Radliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.
|
Gus Miek dan Nyai Lilik Suyati |
Nyai Lilik adalah seorang pemain tenis meja yang handal. Sering diajak lomba-lomba yang berkaitan dengan olahraga. Nyai Lilik ini tidak pernah mondok atau sekolah yang ada hubungannya dengan pelajaran agama Islam. Akan tetapi Gus Miek menyukainya dan menikahinya.
Sewaktu Nyai Lilik menjadi istrinya, malam pertama sampai malam ke-30 Nyai Lilik tidak pernah keluar kamar. Itu merupakan kemauan dari Gus Miek. Selama 30 hari di kamar tidak boleh bertemu dengan siapapun kecuali dengan Gus Miek.
Apabila lapar, makanan akan diantarkan ke kamarnya dan segala kebutuhan disiapkan oleh Gus Miek. Ini adalah cara Gus Miek mengajari istrinya 30 hari diajarkan ilmu-ilmu agama dan 30 hari pulalah Nyai Lilik menghafal Al-Qur’an 30 juz.
Nyai Lilik sangat berubah setelah menikah dengan Gus Miek. Nyai Lilik yang awalnya hanya seorang perempuan biasa pemain tenis meja yang tidak mengerti kaitannya dengan ilmu-ilmu agama menjadi mengerti ilmu-ilmu agama karena diajari oleh Gus Miek.
Demikianlah kisah cinta keduanya, yang terus dikenal masyarakat, khususnya umat Islam dan warga Nahdliyin..
Mugi Gus miek dan Nyai yat pinaringan panggon ingkang sae Ing ngarsane Allah Azza wa Jalla.. Amiin..
Sumber: bangkitmedia.com