Pondok Pesantren Darat yang terletak di kampung Melayu Darat, Semarang, dulu terkenal sebagai pondok “pamungkas”. Ibarat universitas, pondok ini banyak dihuni santri yang telah lulus sarjana. Ibaratnya seperti pondok pascasarjana.
Para santri biasanya sudah menempuh studi di mana-mana, sudah berguru pada kiai-kiai Nusantara, lalu sebagai puncak pengembaraan ilmunya, datang ke nDarat untuk tabarrukan Syekh Muhammad Sholih bin Umar as-Samarany atau biasa dipanggil Mbah Sholeh Darat. Istilahnya ngaji untuk mbilasi. Mirip tindakan mengguyur air untuk pembilasan terakhir dalam aktivitas mencuci pakaian.
Dalam riwayat, KH. Hasyim Asy’ari dan Darwis (nama kecil KH. Ahmad Dahlan) juga diperintah oleh Syaichona Kholil Bangkalan agar berguru ke Mbah Sholeh Darat setelah tuntas mengaji pada beliau. Meski menurut sejarah, Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Ahmad Dahlan juga sudah berguru kepada Mbah Sholeh Darat semasa sama-sama di Mekah.
Diceritakan, pada suatu hari seorang santri asal Madura diusir oleh pengurus pondok karena dinilai sangat nakal. Kiai Sholeh Darat, sedang tidak ada di ndalem saat pengusiran itu. Tindakan lurah pondok mengusir tidak salah karena memang dipasrahi oleh pengasuh untuk mengurus disiplin santri dan jadwal mengaji. Namun perisitiwa itu tanpa sepengetahuan Mbah Sholeh.
Si santri Madura seperti orang kalah perang kala boyong dari pondok nDarat. Berjalan kaki sambil menundukkan kepala dengan tangan memegang buntalan pakaian yang dipanggul di pundaknya. Masygul dia, menyesal telah berbuat kenakalan yang tak termaafkan.
Hatinya masih ingin belajar, menginginkan tetap di pesantren. Tapi apa lacur sudah diusir. Sepanjang jalan di malam hari itu ia menangis sesenggukan. Untuk melupakan kesedihan, dia pun berdzikir sambil membayangkan meminta maaf kepada Mbah Sholeh, kiainya. Ia baca “subhanallah”. Matanya terpejam karena merasa malu, saat berdzikir itu. Ditambah rasa kantuk yang melanda.
Tanpa disadarinya, setiap kali membaca kalimat tasbih itu, setiap kali mulutnya berujar “subhanallah”, tubuhnya sudah berpindah tempat yang jauh. Pada bacaan tasbih pertama, dia sampai Demak. Di bacaan tasbih kedua, tiba di Kudus. Ketiga, keempat, dan seterusnya, sampailah di Surabaya.
Tahu-tahu dirinya sudah sampai pinggir pantai. Tetap dalam kantuknya, si santri terus berdzikir "subhanallah". Tiba-tiba datang seekor ikan lumba-lumba. Entah dorongan dari mana, dia pun mencebur ke laut, lalu si lumba-lumba menggendong santri itu. Diseberangkan sampai Pulau Madura.
Si santri tidak sepenuhnya sadar ketika digendong berenang dari Surabaya menuju Madura. Dia tertidur pulas, sampai tergeletak di pingir pantai Madura. Merasa dingin, barulah dia bangun. Lalu ingat membaca tasbih lagi.
Ketika matanya sudah melek dan bersiap berjalan, lamat-lamat dia melihat sesosok orang berdiri di depannya. Masih di kegelapan malam itu. Namun sudah menjelang fajar. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Dia dekati sosok yang berdiri itu.
Semakin dekat semakin kelihatan bahwa sosok itu ternyata seorang lelaki, sudah tua, dan bersorban. Bajunya khas model kiai zaman dulu. Setelah semakin jelas, terperanjatlah si santri Madura. Betapa kagetnya dia, ternyata yang tengah berdiri di depannya adalah gurunya sendiri, Kiai Sholeh Darat.
Dengan senyum lembut, dua tangan mulia sang kiai meraih muridnya itu. Dia sambut sendiri sang murid yang menangis dalam penyesalannya itu. Lalu sang murid diajak kembali ke Semarang untuk meneruskan ngajinya. Dia telah dimaafkan dan diperkenankan mondok kembali malam itu juga.
Penulis: M. Ichwan
Cerita ini saya dengar dari beberapa orang, termasuk dari para cicit Mbah Sholeh. Cerita secara tutur tinular (lisan bil lisan). Saya tidak mendapat pernyataan sanad cerita itu, tetapi bisa disimpulkan, cerita itu didengar secara sambung menyambung (sanad muttasil) dari jalur dzurriiyah (keturunan) maupun dari jalur keilmuan (guru ke murid).
Sumber: Situs PBNU