Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Lokasi di Jl KH. Syafi’i, Gresik. Umurnya tidaklah terlalu tua. Tapi perkembangannya lumayan pesat. Awal berdirinya pesantren ini tak bisa dilepaskan dari sosok Nabi Khidir dan Kiai Hamid Pasuruan. Bagaimana kisahnya?
Kisah pembangunan pesantren yang dituturkan oleh KH. Arifin, yang berusia 59 tahun yang merupakan pengajar di Pondok Pesantren Mambaus Solihin, adik ipar KH. Masbuhin Faqih.
Sekitar tahun 1969, KH. Abdullah Faqih Suci Gresik mulai merintis pembangunan pondok pesantren ini. Tentu saja tidak bisa langsung magrong-magrong seperti sekarang. Bangunan yang didirikan hanya sebuah surau kecil yang terbuat dari kayu, yang sering disebut langgar. Sebuah tempat yang diperuntukkan untuk aktivitas belajar mengaji Al-Qur`an dan Kitab Kuning.
Pada tahun 1976, putra pertama KH. Abdullah Faqih Suci yang bernama KH. Masbuhin Faqih telah mendapat restu dari gurunya, KH. Abdullah Faqih, pengasuh Pesantren Langitan Widang Tuban untuk berjuang di tengah masyarakat. Namun Kyai Masbuhin masih ragu untuk langsung mendirikan sebuah pesantren. Salah satu hal yang membuat beliau ragu adalah kekhawatiran akan timbulnya nafsu terselubung di dalam hati. Misalnya niat yang bukan semata-mata karena Allah.
Berkat dorongan dari guru-guru beliau, yaitu KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Utsman Al-Ishaqi, serta keinginan luhur beliau untuk menyebarkan ilmu, maka didirikanlah sebuah pesantren yang kelak bernama Mambaus Sholihin.
Adapun dana pertama kali yang digunakan untuk membangun pondok pesantren ini adalah pemberian guru beliau, yaitu KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban. Pada saat pendirian pesantren, KH. Masbuhin Faqih masih menimba serta mendalami ilmu di Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban
Sebelum Pesantren Mambaus Sholihin didirikan, KH. Abdullah Faqih Langitan Widang sempat mengunjungi lokasi yang akan digunakan untuk membangun pesantren tersebut. Setelah mengelilingi tanah tersebut, Kiai Faqih Langitan Widang itu berkata kepada Kyai Masbuhin
“Yo wis, tanah iki pancèn cocok kanggo ndirikno pondok pesantren. Mulo ndang cepet bangunen… (Ya sudah, tanah ini memang cocok untuk mendirikan pesantren. Makanya, segera cepat dibangun..)”
Selain KH. Abdullah Faqih, banyak Masyayikh dan Habaib juga berkunjung ke lokasi tersebut. Diantara para sesepuh yang hadir adalah KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Utsman Al-Ishaqi (Surabaya), KH. Dimyati Rois (Kaliwungu), Habib Al Idrus, dan Habib Macan dari Pasuruan.
Pembangunan Musholla Pondok Pesantren Mambaus Sholihin yang sekarang merupakan Pondok Barat baru dilakukan pada tahun 1983. Saat itu, KH. Masbuhin Faqih sedang menunaikan ibadah haji yang pertama. Adapun yang menjadi modal awal pembangunan adalah uang yang dititipkan kepada adik beliau, KH. Asfihani Faqih yang nyantri di Pesantren KH. Abdul Hamid Pasuruan.
Pada saat itu KH. Asfihani Faqih turun dari tangga sehabis mengajar. Ujuk-ujuk, muncul seorang lelaki yang tidak dikenal. Lelaki itu memberikan sekantong uang lalu pergi dan menghilang.
Keesokan harinya, KH. Asfihani dipanggil gurunya, Mbah Kiai Hamid Pasuruan.
“Asfihani, saya ini pernah berjanji untuk menyumbang pembangunan rumah santri (pondok), tetapi hari ini saya tidak punya uang. Yai silihono dhuwit po’o, Nak! (Yai pinjami uang dulu ya, Nak!)”, kata Mbah Hamid.
“Kyai, tadi malam sehabis mengajar, saya diberi orang sekantong uang. Kula mboten kenal tiyang niku (saya tidak kenal orang itu)”, jawab Kyai Asfihani
“Êndi saiki dhuwité. Ayo ndang diitung… (sekarang mana uangnya, ayo segera dihitung)”, kata Mbah Hamid kemudian
Kyai Asfihani pun mengambil uang tersebut. Setelah dihitung, sekantong uang tersebut berjumlah Rp. 750.000,-. Kyai Hamid lalu memberi isyarat, bahwa yang memberikan uang tersebut adalah Nabi Khidir.
Kemudian KH. Abdul Hamid Pasuruan berkata pada KH. Asfihani : “Nak, saiki ndang muliyo. Duwit iki kèkno abahmu. Kongkonên bangun mushola… (Nak, sekarang cepat pulang. Uang ini kasihkan abahmu untuk bangun mushala..)”.
Mendengar perintah itu, akhirnya Kyai Asfihani lalu pulang ke Gresik untuk menyampaikan pesan Kyai Hamid kepada ayahnya.
Saat pondok induk masih dalam taraf penyelesaian, Kyai Hamid Pasuruan datang dan memberi sebuah bola lampu neon untuk penerangan. Padahal saat itu listrik belum masuk Desa Suci. Karena yang memberi bukan orang sembarangan, maka pengasuh pesantren yakin bahwa itu semua merupakan isyarat tentang tujuan pendirian sebuah pondok pesantren. Memberi penerangan seperti lampu.
|
Ponpes Mambaus Sholihin Suci Gresik |
Awalnya pesantren itu bernama At-Thohiriyah. Besar kemungkinan pemberian nama itu diisbatkan pada nama tempat dimana institusi tersebut didirikan, yakni Desa Suci yang dalam Bahasa Arab At-Tahir. Sedang nama Madrasah-nya adalah Roudhotut Tholibin. Disesuaikan dengan nama Masjid Desa Suci Roudhotus Salam.
Berbekal keyakinan akan pentingnya sebuah nama, maka Kyai Abdullah Faqih Suci sowan ke kediaman guru sekaligus mursyid-nya, KH. Ustman Al-Ishaqi Surabaya. Selain silaturrahim, salah satu agenda dalam acara sowan tersebut adalah meminta nama yang cocok untuk pesantren yang telah berdiri. Oleh Kyai Ustman diberi nama Mambaus Sholihin, yang artinya sumber orang-orang sholeh.
“Meskipun tidak terlalu pandai, Insya Allah santri yang mondok di pesantren ini akan menjadi anak-anak yang sholeh”, begitu dawuh Kyai Ustman Al-Ishaqi setelah memberi nama pesantren yang memiliki motto Alim Sholeh Kafi itu.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com