Dalam Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro tidak pernah menjelaskan bahwa ia pernah memakai jubah, surban atau surjan. Dalam Babad Diponegoro, ia hanya menjelaskan beberapa kali tentang pakaiannya:
Pertama, saat pakaiannya terkena bercak darah akibat mengalami luka tembak setelah berperang melawan Belanda.
Kedua, Pangeran Diponegoro memakai pakaian compang-camping saat berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain, dari masjid satu ke masjid lain, dan dari satu hutan ke hutan lain.
Ketiga, Pangeran Diponegoro memakai baju perang saat singgah di Pesanggrahan, Rejoso. Istrinya (RA. Maduretno) dengan berlinang air mata membantu melepas baju perang suaminya.
Dalam Babad Diponegoro, ia tidak menjelaskan bahwa ia pernah memakai jubah, surjan atau surban.
Walaupun ada beberapa literatur yang mengungkapkan bahwa Pangeran Diponegoro pernah memakai jubah, surjan atau surban, namun literatur itu tidak begitu kuat. Adapun lukisan karya Raden Saleh dan Pineman yang beredar luas di masyarakat hanyalah memakai imajinasi saja.
Tetapi ada dua lukisan yang dilukis langsung di depan Pangeran Diponegoro, yaitu;
Pertama, ketika Pangeran Diponegoro menikah untuk yang kedua kalinya. Seorang pelukis keraton melukis Pangeran Diponegoro yang memakai beskap, ikat kepala dan dilengkapi blankon (pakaian Jawa). Pelukis keraton itu melukis dengan menggunakan arang.
Kedua, Pangeran Diponegoro dilukis oleh seorang Belanda yang bernama Egipict, yaitu ketika Pangeran Diponegoro sedang menjalani persidangan di Batavia. Pangeran Diponegoro memakai surban tetapi telinganya kelihatan.
|
Lukisan Pangeran Diponegoro |
Dalam sebuah literatur dijelaskan, Pangeran Diponegoro memakai kuluk raja atau teropong saat berada di Pesanggrahan (Magelang)
Dalam sebuah babad yang ditulis oleh Cokro Negoro (Bupati Purworejo Pertama) dijelaskan, bahwa sosok Pangeran Diponegoro menggunakan pakaian Jawa.
Intinya, Pangeran Diponegoro adalah orang Jawa yang tidaklah mengherankan kalau ia senang memakai pakaian Jawa. Walaupun ia seorang Pangeran, namun ia juga pemeluk Islam yang taat sekaligus santri yang dekat dengan ulama. Bahkan saat awal-awal peperangan berlangsung dan bermarkas di Goa Selarong, ia mengundang dua ulama terkemuka yang bernama Kyai Mojo dan Kyai Kwaron. Ia mengundang ulama agar tindakannya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari penjelasan Roni Sodewo (Keturunan Pangeran Diponegoro)
Sumber: Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro yang ditulis dengan tulisan Arab Pegon
ADS HERE !!!