Wirid, dzikir, dan menyebut asma Allah swt. kerap dilakukan oleh para ulama pesantren di tengah perjuangan melawan penjajah. Kekuatan fisik, kelengkapan amunisi, dan strategi menjadi modal penting dalam perang melawan penjajah. Namun, para ulama tidak mau melupakan Yang Maha Memiliki Kekuatan, yaitu Allah. Mereka tetap berprinsip bahwa ikhtiar batin harus tetap dilakukan. Bahkan upaya tersebut tak jarang membuat para penjajah kocar-kacir.
Puncak perjuangan para kiai ialah ketika terjadi Agresi Belanda kedua pada tahun 1945 di beberapa daerah, terutama di Surabaya dan merembet ke Semarang, Ambarawa, dan Magelang. Saat tiba di Kota Magelang, tentara Sekutu memanfaatkan gedung Seminari Katolik untuk menduduki Kota dan Magelang dan sekitarnya.
Beberapa ulama khos berkumpul untuk melakukan gerakan rohani atau riyadhoh-rohani. Di antaranya ialah KH. Dalhar Watucongol, KH. Siroj Payaman, KH.R. Alwi Tonoboyo, dan KH. Mandhur Temanggung, termasuk KH. Saifuddin Zuhri yang berkesempatan turut melakukan konsolidasi perjuangan para pemuda. Saat itu tentara Sekutu telah menguasai Magelang selama satu minggu.
Kiai Saifuddin Zuhri mencatat dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013) bahwa tentara Inggris membawa bendera sekutu yang terdiri dari orang India dan Gurkha, serdadu-serdadu Belanda yang membonceng Sekutu, dan bekas serdadu Nippon yang dimanfaatkan sebagai perisai.
Walaupun Inggris hanya menguasai Gedung Seminari Katolik di bibir alun-alun dan sepanjang jalan raya Poncol stasiun Kota Magelang, namun jalan raya Ambarawa-Semarang dan Ambarawa-Magelang bisa dikuasai pula berkat pasukan tank dan pesawat terbang mereka. Namun, strategi dan serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Laskar Hizbullah dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berhasil mengusir tentara sekutu.
Sekutu yang digerakkan oleh tentara Inggris berupaya mengevakuasi diri. Di tengah keberhasilan mengusir sekutu, ternyata di luar sana KH. Dalhar Watucongol telah setengah jalan membaca Hizib Nashar diikuti oleh santri dan para pejuang lainnya yang berkumpul melakukan gerakan rohani. Di antara yang juga dibaca ialah Dalailul Khoirot, Hizib al-Barri, Hizb al-Bahri keduanya li Abil Hasan Asy-Syadzili.
Di tengah kecamuk di daerah Magelang tersebut, kantor-kantor, termasuk markas hizbullah dikosongkan selama tiga hari. Jalan Raya Poncol Magelang menjadi sepi. Penduduk sepanjang jalan tersebut banyak yang mengungsi. Meskipun berhasil kembali dikuasai oleh Laskar Hizbullah dan TKR, namun masyarakat tetap memilih mengungsi karena bisa sewaktu-waktu tentara Sekutu kembali menyerang.
|
Presiden Soekarno disambut KH. Saifuddin Zuhri (jas putih berpeci) |
Di tengah kondisi yang sepi, KH. Saifuddin Zuhri yang sedang melakukan perjalanan kembali ke tempat tinggalnya setelah mengunjungi Kantor Karesidenan Magelang. Ia berjalan kaki menempuh jarak sekitar 1 kilometer. Baru sampai di belakang Hotel Tidar, 200 meter dari rumah Abdul Wahab Kodri (Sekretaris NU Magelang), gemuruh yang berasal dari benturan benda keras terdengar disusul oleh berondongan peluru dari senjata jenis mitraliur (sebuah senjata api yang menggabungkan kemampuan menembak otomatis senapan mesin dengan amunisi pistol).
Benturan benda-benda keras tersebut dua-duanya saling bersahutan dan berbarengan sehingga cukup memekakkan telinga. Dua-duanya bersumber dari iring-iringan pasukan tank yang memelopori pendudukan serdadu-serdadu Inggris atas Kota Magelang.
Kiai Saifuddin Zuhri seketika bertiarap dan berguling memasuki pekarangan rumah warga agar bisa merangkak menuju tempat yang lebih aman. Di tengah ia berjibaku mengamankan diri, ia membaca sebuah wirid secara lirih. Wirid yang ia lakukan sejak dalam pusat latihan Hizbullah di Cibarusa ialah “Shalawat Nariyah”. (KH Saifuddin Zuhri, 2013: 347)
Wirid Shalawat Nariyah membawa Kiai Saifuddin Zuhri keluar dari lobang jarum. Ia sendiri tidak bisa membayangkan ketika bisa meloloskan diri dari maut tersebut. Akhirnya ia berhasil tiba di sebuah tempat di mana beberapa kawan para kiai juga dalam kondisi siap siaga di markas Sabilillah.
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!