Selama sembilan tahun tinggal di Madinah, Nabi Muhammad tidak pernah melaksanakan ibadah haji di Makkah. Beliau baru mengumumkan kepada para sahabatnya akan melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriyah. Para sahabat menyambut pengumuman Nabi Muhammad itu dengan begitu antusias. Mereka beramai-ramai mempersiapkan diri untuk ikut haji bersama Nabi Muhammad.
Maka jadilah tahun itu, tahun ke-10 H, Nabi Muhammad bersama para sahabatnya melaksanakan ibadah haji. Haji yang dilakukan Nabi Muhammad itu kemudian dikenal dengan haji wada’, haji pertama dan terakhir yang pernah dilakukan Nabi sepanjang hidupnya. Karena pada musim haji berikutnya, Nabi Muhammad sudah tiada.
Lalu, apa yang membuat Nabi Muhammad baru melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriyah? Mengapa beliau tidak menunaikan rukun Islam kelima itu pada tahun-tahun sebelumnya?
Sebetulnya keinginan Nabi Muhammad untuk berhaji sudah sejak tahun ke-9 H. Saat itu, setelah kembali ke Madinah dari pertempuran Tabuk pada bulan Ramadhan tahun ke-9 H, Nabi Muhammad mengungkapkan keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, beliau kemudian mengurungkan niatnya karena pada saat itu masih ada orang musyrik yang tawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan bahwa selama praktik itu masih ada, maka dirinya tidak akan menunaikan ibadah haji.
“Orang-orang musyrik melakukan tawaf dalam keadaan telanjang. Sungguh aku tidak akan melakukan ibadah haji sampai tidak ada lagi hal seperti itu,” kata Nabi Muhammad, seperti dikutip dari buku The Great Episodes of Muhammad saw (Said Ramadhan al-Buthy, 2017).
Di samping itu, bacaan dan doa yang mereka lafalkan dalam ibadah haji mengandung kemusyrikan yang nyata. Misalnya ketika membaca talbiyah, mereka mengucapkan ‘Huwa laka tamlikuhu wama malaka labbaika la syarika laka’. Artinya, Kuperkenankan panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu kecuali milik-Mu yang Engkau miliki dan dia (sekutu itu) tidak memiliki kuasa.
|
Ka'bah tempo dulu |
Merujuk buku Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), situasi dan kondisi yang belum kondusif seperti itulah yang membuat Nabi Muhammad enggan melaksanakan ibadah haji. Di samping itu, menurut pendapat sementara ulama, Nabi Muhammad baru haji pada tahun ke-10 H karena baru tahun itulah turun kewajiban melaksanakan haji.
Namun demikian, keadaan semacam itu tidak membuat Nabi Muhammad melarang para sahabatnya berhaji. Pada tahun ke-9 itu, beliau mengutus Sayyidina Abu Bakar menjadi Amir al-Hajj, memimpin rombongan umat Islam dari Madinah ke Makkah untuk melaksanakan haji. Setelah Sayyidina Abu Bakar dan rombongan berangkat, Nabi Muhammad menerima wahyu QS. at-Taubah yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian antara dirinya dengan kaum musyrik Makkah.
Nabi Muhammad lantas mengutus Sayyidina Ali bin Abi Thalib pergi ke Makkah. Misinya adalah untuk mengumumkan pembatalan perjanjian Nabi Muhammad, sesuai wahyu yang baru saja turun, kepada semua pihak, terutama kepada kaum musyrik Makkah. Sayyidina Ali bertemu dengan rombongan Sayyidina Abu Bakar di sebuah wilayah bernama Dzy al-Halifah. Mereka kemudian menuju ke Makkah secara bersama-sama. Sayyidina Abu Bakar masih tetap sebagai Amir al-Hajj, sementara Sayyidina Ali berposisi sebagai utusan khusus Nabi yang bertugas menyampaikan wahyu yang baru saja turun itu.
Pada tanggal 9 atau 10 Dzul Hijjah tahun ke-9 H, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyampaikan pesan Nabi Muhammad kepada kaum musyrik yang tengah melaksanakan haji di Ka’bah. Atas nama Nabi Muhammad, Sayyidina Ali menegaskan bahwa orang musyrik tidak boleh lagi melaksanakan haji pada tahun berikutnya. Mereka juga tidak diperkenankan lagi melaksanakan tawaf dalam keadaan telanjang. Dia juga menyatakan, siapapun yang menjalin perjanjian dengan Nabi Muhammad maka itu sudah berakhir.
“Ditetapkan empat bulan sejak saat ini bagi semua orang untuk kembali ke kampung halamannya dan memperoleh jaminan keamanan, setelah masa itu berlalu, maka tidak ada lagi perjanjian dan tidak ada lagi jaminan keamanan, kecuali bagi siapa yang mempunyai ikatan perjanjian dengan Nabi yang berlaku sampai masanya,” kata Sayyidina Ali.
Setelah mendengar pengumuman dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kaum Muslim melanjutkan ibadah haji sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Sementara kaum musyrik melakukan haji sesuai dengan adat kebiasaannya. Mereka kemudian kembali ke tempat asalnya setelah selesai melaksanakan haji.
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!