Dalam kitab al-Durru al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi mencatat sebuah riwayat dari Imam Wahb bin Munabbih tentang nasihat Nabi Isa ‘alaihissalam untuk orang yang hendak berdoa. Berikut riwayatnya:
وأخرج وهب بن منبه قال: قال المسيح عليه السلام: أكثروا ذكر الله، وحمده، وتقديسه، وأطيعوه فإنما يكفي أحدكم من الدعاء إذا كان الله تبارك وتعالي راضيا عليه أن يقول: اللهم إِغْفِرْ لِي خَطِيْئَتِي وَاصْلِحْ لِي مَعِيْشَتِي وَعَافِنِي مِنَ الْمَكَارِهِ, يَا إِلَهِي
Dikeluarkan oleh Wahb bin Munabbih, ia berkata: Al-Masih (Isa ‘alaihisslam) berkata:
“Perbanyaklah berdzikir (mengingat) kepada Allah, (perbanyaklah) memuji-Nya dan menyucikan-Nya. Taatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya cukup bagi seorang dari kalian sebuah doa ketika Allah tabaraka wa ta’ala ridha atasnya, yaitu mengucapkan (doa): “allahummaghfir li khathi’ati wa’ashlih li ma’isyati wa ‘afini minal makarihi, ya ilahi,” (Ya Allah, ampunilah kesalahanku, baguskanlah kehidupanku, dan bebaskanlah aku dari tipu daya setan, wahai Tuhanku).” (Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, al-Durru al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015, juz 2, h. 54)
Nasihat Nabi Isa di atas perlu kita renungkan dalam-dalam, terutama bagi orang-orang yang hendak berdoa kepada Allah. Untuk memahaminya lebih jauh, kita akan membahasnya satu persatu. Berikut uraian singkatnya.
Dalam nasihatnya, Nabi Isa memerintahkan orang yang hendak berdoa untuk memperbanyak dzikir (mengingat), pujian (tahmid), dan pensucian (taqdis/tasbih) kepada Allah swt. Beliau juga menekankan pentingnya menaati Allah. Ketaatan menjadi penting karena ia merupakan pintu menuju keridhaan Allah, sehingga Nabi Isa memerintahkan seseorang yang hendak berdoa memenuhi kedua aspek itu. Jika kedua aspek itu tidak terpenuhi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika doanya tidak kunjung dikabulkan.
Kemudian Nabi Isa mengajarkan sebuah doa yang sangat menarik untuk dikaji. Teks doanya adalah: “Allahummaghfir li khathi’ati wa’ashlih li ma’isyati wa ‘afini minal makarihi, ya ilahi,” (Ya Allah, ampunilah kesalahanku, baguskanlah kehidupanku, dan bebaskanlah aku dari tipu daya setan, wahai Tuhanku). Menurut Nabi Isa, doa ini dapat membuka pintu keridhaan Allah. Tentu saja setelah berdzikir, bertahmid, bertasbih dan taat kepada-Nya. Lafadnya mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Dalam arti tidak hanya berhenti pada makna permohonan, tapi juga makna penerapan.
Yang pertama, lafadz, “allahummaghfir li khathi’ati,” (Ya Allah, ampunilah kesalahanku). Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah bersalah, kecuali para nabi. Semua manusia pernah berbuat salah dan dosa, meskipun orang tersebut adalah seorang ahli ibadah dan berilmu, dia tetap pernah melakukan kesalahan, sehingga memohon ampunan kepada Allah adalah kebutuhan setiap manusia sepanjang hidup.
Di sisi lain, memohon ampun juga termasuk bentuk mengingat (dzikir), memuji (tahmid) dan menyucikan (taqdis/tasbih) Allah. Dengan memohon ampunan-Nya, kita sedang mengingat Allah, karena tak mungkin memohon ampun tanpa mengingat Tuhan yang Maha-pengampun. Kita juga sedang memuji-Nya, karena dengan memohon ampun, kita sedang mengakui sifat-sifat-Nya yang Al-Ghafur (Maha-mengampuni) dan Al-Tawwab (Maha-menerima tobat). Begitu pun dengan menyucikan-Nya. Ketika kita memohon ampun kepada-Nya, kita menghindarkan diri kita dari mengakui tuhan selain-Nya. Dengan memohon ampun hanya kepada-Nya, kita berada dalam tauhid (pengesaan), menyucikan Allah dari sesembahan lainnya.
Kedua, lafadz, “wa’ashlih li ma’isyati,” (baguskanlah kehidupanku). “Bagus” di sini berarti “bagus” menurut Allah. Lafadz, “ashlih” (bagus, baik, patut dan indah) berakar kata sama dengan “shalih”, yang dalam Al-Qur'an sering didahului oleh lafadz “’amal” (perbuatan). Artinya, “bagus” dalam doa ini adalah permohonan agar hidup selalu diliputi amal baik, dan terhindar dari perbuatan tercela.
Di samping itu, memohon dibaguskan hidupnya termasuk bentuk ketaatan kepada Allah, karena selalu mengharapkan kebaikan dalam hidupnya. Seperti penjelasan sebelumnya, “bagus” di sini berarti bagus menurut Allah. Dan, agar di“bagus”kan kehidupannya, seseorang harus mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga ia laik menyandang gelar “shalih” (orang yang saleh).
Ketiga, lafadz, “‘afini minal makarihi” (bebaskanlah aku dari tipu daya setan). Tipu daya setan sangat menggoda karena memanfaatkan kerakusan, syahwat dan watak buruk lainnya dari manusia. Karena itu Nabi Isa ‘alaihissalam berkata:
إن الشيطان مع الدنيا ومكره مع المال، وتزيينه عند الهوي واستكماله عند الشهوات
“Sesungguhnya setan bersama dunia, dan tipu dayanya bersama harta benda. Dia menghias di sekitar hawa nafsu, dan menyempurnakan (hiasan)nya di sekitar syahwat.” (Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, al-Durru al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, 2015, juz 2, h. 53)
Artinya, setan memanfaatkan ragam sisi lemah manusia; dunia, harta benda, hawa nafsu dan syahwat. Empat sisi ini digarap oleh setan dengan tampilan yang apik dan menggoda. Maka, tidak sedikit yang terjerumus ke dalam bujuk rayu setan. Karena itu, memohon kepada Allah agar diselamatkan dari tipu daya setan memang harus terus dilakukan. Karena semua orang pasti pernah mengalami dahsyatnya rayuan setan. Dia (setan) mempersembahkan hal buruk terlihat lezat dan nikmat dengan cara yang sangat halus, sehingga manusia tidak menyadari keburukan yang sedang dan akan dilakukannya.
Jadi, secara sistematis setan menyerang manusia dengan iming-iming dunia, merayunya dengan harta benda. Kemudian mulai mengipas-ngipasi hawa nafsunya, dan membelai-belai syahwatnya agar bergerak. Jika syahwat sudah bergerak, manusia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, dan setan sangat pintar mengemas keinginan buruk itu seakan-akan mengasyikkan dan menyenangkan. Perasaan bersalah pun perlahan-lahan mengecil, sampai kemudian tak terdengar lagi. Inilah empat strategi setan yang terus dilakukan hingga akhir jaman.
Karena itu, Nabi Isa mengajari kita rangkaian doa yang lengkap, yang telah mencakup segala aspek kehidupan, dari mulai ampunan dosa, kebaikan hidup dan terbebas dari tipu daya setan. Jika kita bisa dengan istiqamah mengamalkan doa tersebut, baik secara ritual (berdoa mengangkat tangan) maupun mengamalkan maknanya dalam perilaku sehari-hari, maka ridha Allah sangat dekat dengan kita. Mungkinkah dilakukan? Semoga saja.
Sumber: Situs PBNU