Abu Yazid al-Busthami, begitulah sufi agung yang masuk dalam jajaran generasi Salaf ini akrab dipanggil. Lahir di Bustham, bagian timur laut Persia pada tahun 188 H atau 874 M, dan wafat pada tahun 261 H atau 947 M. Perjalanannya untuk menjadi seorang sufi memakan waktu yang cukup lama, puluhan tahun, di mana sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, terlebih dulu ia telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi.
Tulisan kali ini bukannya untuk membahas bagaimana proses perjalanannya menuju kehidupan kesufian, akan tetapi akan menyajikan penggalan kisah beliau yang cukup bermakna ketika kita mencoba menjadikannya sebagai salah satu i’tibar (pelajaran) dalam mencapai kualitas keberagamaan yang lebih dewasa.
Seperti yang biasa ia lakukan, di malam yang hening itu Abu Yazid mengadakan pengembaraan seorang diri. Di tengah perjalanan, ia mendapati seekor anjing berjalan ke arahnya dengan tanpa hirau. Ketika anjing ini sudah begitu dekat, dengan spontan Abu Yazid mengangkat gamisnya, kuatir baju tersentuh anjing yang najis tersebut.
Tak seperti anjing pada umumnya, mendapati respon sang sufi ini ia menghentikan langkahnya sembari menatap dalam-dalam pada Abu Yazid. Yang lebih mengejutkan, binatang ini dianugerahi kemampuan untuk berkata-kata. Dengan masih menatap sang sufi, anjing ini berucap: “Tuan, tubuhku ini kering dan tak akan menyebabkan najis padamu. Kalaupun toh pada akhirnya engkau merasa terkena najis, sebenarnya engkau cukup membasuh tujuh kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuh dan pakaian Tuan pun akan hilang.”
“Namun, apabila Tuan mengangkat gamis ini karena menganggap diri Tuan yang bertubuh manusia lebih agung, dan menganggap diriku yang bertubuh anjing ini hina dina, maka sesungguhnya najis yang menempel di hati Tuan itu tak akan bisa dibersihkan, walau Tuan basuh dengan tujuh samudera…”
Abu Yazid al-Busthami sedemikian tersentak menghadapi kejadian ini dan seketika meminta maaf kepada anjing tersebut. Dan, sebagai bukti keseriusannya dalam memohon maaf, ia mengajak anjing ini untuk bersahabat dan berjalan-jalan bersama.
Akan tetapi ternyata sang anjing menolak seraya berkata:
“Tuan tak pantas berjalan bersamaku. Orang-orang yang memuliakan Tuan akan mencemooh Tuan dan melempariku dengan batu. Aku tidak mengerti mengapa mereka memandangku sedemikian hina, padahal aku ini makhluk-Nya, dan benar-benar berserah diri kepada Sang Khaliq dengan wujudku ini. Tuan melihat sendiri, aku tak menyimpan dan membawa sepotong tulang pun untuk kujadikan sebagai bekal, sementara Tuan masih berbekal sekarung gandum untuk makan esok hari,”
Demikian anjing ini mengakhiri pembicaraannya, untuk kemudian melanjutkan perjalanan, meninggalkan Abu Yazid seorang diri.
Abu Yazid hanya bisa terdiam sembari merenung. Tak terasa air mata menitik, dan dari lubuk hati terdalam ia berkata, “Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu pun aku tak pantas. Lalu bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-Mu? Ampunilah aku wahai Tuhanku, dan sucikan najis yang ada dalam hatiku…”
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!