Moh. Rowi Mancengan Modung Bangkalan adalah salah satu santri Syaichona Moh. Cholil yang beruntung mendapatkan kitab Alfiyah dari Sang Guru. Moh. Rowi muda awalnya mondok di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Kesehariannya beliau sibukkan dengan mengaji berbagai macam kitab. Selain itu, beliau juga sering bertapa di waktu malam. Tempat pertapaannya agak aneh karena beliau selalu berendam di sungai yang ada di samping pondok, sambil berdzikir secara terus-menerus sampai Subuh menjelang.
Suatu ketika di malam yang gelap dan dingin, beliau turun ke sungai seperti biasanya, berendam sambil berdzikir tiada henti. Dalam ke-khusyu’an-nya, tiba-tiba beliau tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu, beliau bertemu dengan seseorang berpakaian putih serta berwibawa, di atas sebuah bukit orang itu berkata, “Kalau kamu ingin alim ilmu Nahwu, datanglah ke pondok Demangan, belajarlah kepadaku!”.
Moh. Rowi terbangun dari tidurnya, sekujur tubuhnya yang dingin kemudian terasa hangat dan gemetar. Segeralah beliau naik ke darat dan kembali ke kamarnya di pondok, sampai menjelang Subuh, Moh. Rowi sama sekali tidak bisa memejamkan matanya karena mimpi yang baru dialaminya terus membuatnya berpikir apa yang harus dilakukannya. Setelah berpikir lama, beliau akhirnya memutuskan untuk memenuhi perintah orang berwibawa itu yang dilihatnya dalam mimpi.
Keesokan harinya, Moh. Rowi segera sowan kepada KH. Ya’qub (Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo saat itu) dan menceritakan mimpi yang dialaminya. Mendengar penuturan santri yang disayanginya itu, KH. Ya’qub langsung memerintahkan untuk segera melaksanakan petunjuk dalam mimpi itu. Setelah mendapatkan izin dari gurunya, Moh. Rowi segera menuju ke Demangan Bangkalan, tanpa pulang dulu ke rumahnya di Mancengan Modung. Sebelum ke pondok Demangan, dia mampir dulu ke rumah familinya yang ada di Bangkalan, untuk sekadar membersihkan tubuhnya dan melakukan persiapan untuk berangkat menuju Pondok Demangan.
Setelah sampai di pondok Demangan, Moh. Rowi segera sowan kepada Syaichona Moh. Cholil. Namun belum sempat menyampaikan tujuannya untuk mondok, tiba-tiba Syaichona Moh. Cholil langsung mengusirnya, sehingga membuat Moh. Rowi langsung keluar karena ketakutan yang luar biasa. Tetapi dia sadar, bahwa ini adalah cara Syaichona Moh. Cholil untuk menguji kesungguhannya untuk mengaji dalam menuntut ilmu. Keesokan harinya dia kembali sowan lagi, namun Syaichona Moh. Cholil kembali mengusirnya, begitu seterusnya sampai beberapa hari.
Moh. Rowi dengan sabar menerima ujian ini, sehingga dia tidak berani lagi untuk sowan ke Rowi segera sowan kepada Syaichona Moh. Cholil. Moh. Rowi bingung dan hanya bisa menunggu dan menunggu di luar komplek pesantren Demangan.
Tibalah di hari keempat, Syaichona Moh. Cholil memerintahkan salah satu santri untuk mencari Moh. Rowi dan membawanya ke ndalem beliau. Bukan main gembiranya Moh. Rowi, segera saja dia langsung sowan kepada Syaichona Moh. Cholil. Sesampainya di ndalem, Syaichona menanyakan maksud kedatangannya ke pondok Demangan dan dengan penuh ta’dzhim Moh. Rowi menyampaikan keinginannya untuk mengaji kepada beliau.
|
Tulisan tangan Syaikhona Kholil yang berusia 122 tahun lebih |
Syaichona Moh. Cholil kemudian berkata, “Saya menulis kitab Alfiyah dan akan saya jual sama kamu, ayo tawar harganya.” Tentu saja Moh. Rowi gembira luar biasa, tapi dia bingung mau menawar berapa karena Syaichona Moh. Cholil tidak menyebutkan berapa harganya. Namun karena diperintah oleh beliau, Moh. Rowi akhirnya berani mengajukan tawaran 100 duit sen. “Itu terlalu mahal, turunkan lagi,” dawuh Syaichona Moh. Cholil. Kemudian diturunkan 20, namun ditolak, diturunkan lagi 20-20, sampai akhirnya tinggal 20 duit sen dan disetujui oleh Syaichona Moh. Cholil.
Setelah mendapatkan kitab Alfiyah tulisan tangan sang guru, Moh. Rowi gembira tiada tara, tiap waktu kitab itu selalu dibaca dan dipelajarinya, sampai menghafal seluruh isinya. Mengetahui hal tersebut, teman-teman santrinya berebutan untuk meminjamnya, sehingga kitab itu kemudian berpindah dari satu tangan santri ke tangan santri lainnya. Hal ini ternyata diketahui oleh Syaichona Moh. Cholil, sehingga suatu ketika beliau mendatangi kamar Moh. Rowi dan menanyakan tantang kitab Alfiyahnya. Dengan badan gemetar Moh. Rowi menyampaikan bahwa kitab itu dipinjam oleh teman-teman santri yang lain. Syaichona Moh. Cholil marah dan menyuruh Moh. Rowi untuk segera mengambil kembali kitabnya. Setelah kitab itu diambil dari temannya, segera kitab Alfiyah itu dihaturkan oleh Moh. Rowi kepada sang guru dan kemudian Syaichona Moh. Cholil menulis di bagian sampul kitab Alfiyah itu:
الا يا مستعير الكتب دعني فان اعارتي للكتب عار
فمحبوبي من الدنيا كتابي فهل ابصرت محبوبا يعار
Ketika di kitab itu terdapat tulisan tangan oleh Syaichona Moh. Cholil, para santri tidak ada lagi yang berani meminjamnya.
Setelah mengaji kepada Syaichona Moh. Cholil dengan kitab Alfiyahnya, Moh. Rowi menjadi seorang yang alim ilmu nahwu, hafal seluruh isinya dari awal sampai akhir, bahkan konon beliau juga bisa menghafal sekalipun dibalik dari bagian belakang ke bagian depan, persis seperti mimpi yang dialaminya waktu bertapa berendam di sungai Panji.
Setelah KH. Moh. Rowi wafat, kitab Alfiyah tersebut diwariskan kepada putra tertuanya, KH. Tolhah Rowi yang juga merupakan santri Syaichona Moh. Cholil. KH. Tholhah inilah yang mendampingi Syaichona Moh. Cholil ketika menjelang detik-detik wafatnya beliau. Dari KH. Tholhah, kitab tersebut diwariskan kepada putranya KH. A. Shidiq Muslim dan kini diwariskan kepada Lora Ahmad Rowi Shidiq Muslim.
Kitab tersebut sudah berusia 122 tahun lebih yang (terhitung dari tahun yang ditulis dibagian belakang kitab) dan kondisinya masih utuh dan tersimpan rapi di pondok Pesantren At-Tholhawiyyah Sumur Nangka Modung Bangkalan.
Narasumber: Majelis Keluarga PP. At-Tholhawiyyah Sumur Nangka Ust. Toyyib Fawwas. Disarikan dari Majalah Aschal edisi 20.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com