Rasulullah adalah pribadi yang sangat mementingkan dan memperhatikan pendidikan. Pusat pendidikan Rasulullah berada di masjid, beliau mendidik para sahabat dari generasi ke generasi mulai dari anak-anak seperti Abdullah bin Abbas sampai kepada generasi yang tua-tua.
Bahkan saking bahagianya Rasulullah dengan semangat belajar para sahabat, ketika beliau sakit menjelang wafat, beliau masih sempat tersenyum karena memandang jendela yang tertuju pada masjid dipenuhi oleh para sahabat dalam proses belajar. Saking bahagia dan sumringah senyum Rasulullah pada waktu itu, para sahabat yang menunggu Rasul menganggap Rasul telah sehat. Padahal beberapa waktu kemudian, ketika jendela ditutup dan Nabi bersandar di pangkuan Sayyidah Aisyah, pada saat itulah Nabi wafat.
Nabi, selain menjadi Nabi beliau juga seorang pedagang, tapi ketika telah menjadi Nabi, beliau telah meninggalkan seluruh aktifitas perdagangannya, dan fokus mengajar, sementara usaha perdagangannya dititipkan kepada Sayyidina Abu Bakar. Kenapa Nabi sampai seperti itu di dalam mengajar?. Tentu karena khawatir apabila beliau mendapat wahyu, beliau lupa tidak menyampaikan kepada umat.
Cerita yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan oleh Nabi tersebut adalah kisah Mbah Faqih Maskumambang Gresik yang pada saat beliau hidup pernah menjabat sebagai Wakil Rais Aam PBNU sementara Rais Aam-nya adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.
Diceritakan bahwa Kiai Faqih Maskumambang tidak pernah sekalipun menerima santri yang ingin nyantri kepada beliau, kecuali beliau hanya mengajar keponakan-keponakannya. Suatu ketika Kiai Faqih Maskumambang disowani oleh Mbah Syuaib yang pada saat itu membawa Mbah Zubair untuk dipondokkan. Kemudian singkat cerita diterimalah Mbah Zubair, sebagai santri pertama dari Mbah Faqih.
Diceritakan bahwa setelah menerima Mbah Zubair sebagai santri, yang kemudian diikuti oleh santri-santri dari luar (bukan dari keluarga beliau sendiri), Mbah Faqih kemudian meninggalkan seluruh aktifitas beliau dan fokus mengajar, kata-kata beliau yang masyhur adalah, “Nek wes wani dadi kiai, kudu wani fokus ngajar ngaji.” (Kalau sudah berani menjadi kiai, dia harus berani fokus mengajar ngaji).
Nah, pertanyaannya kenapa Nabi sampai meninggalkan seluruh aktifitas beliau hanya untuk mengajar?. Karena beliau takut lupa tidak menyampaikan amanat berupa wahyu kepada umat. Kiai dan guru pun seharusnya seperti itu, harus muthala’ah (mempelajari pelajaran yang akan diajarkan) karena apabila tidak muthala’ah dikhawatirkan lupa.
Saking hebatnya Nabi dalam menjaga wahyu agar sampai kepada umat dengan hanya fokus mengajar, Allah memberikan bisyarah kepada Rasulullah berupa mukjizat “Sanuqriuka fala tansa”. Yaitu kekuatan menghafal dan tidak lupa, terbukti ketika Malaikat Jibril membacakan QS. al-An’am mulai ayat pertama sampai ayat terakhir dan dibaca hanya satu kali, tapi Nabi telah hafal. Karena Nabi telah dijanji oleh Allah berupa “sanuqriuka fala tansa”.
Oleh karena itu, banyak ulama, apabila akan mengajar belajar lebih dulu, walaupun beliau-beliau sebenarnya sudah bisa. Syekh Yasin al-Fadani, guru dari Mbah Kiai Sahal Mahfudz, dan Mbah Kiai Maimun Sarang, beliau berdua apabila membaca kitab sanadnya banyak yang bersumber dari Syekh Yasin al-Fadani.
Syekh Yasin al-Fadani apabila akan mengajar, malam sudah belajar. Apalagi murid-murid, atau santri-santri sudah seharusnya belajar lebih giat. Syekh Yasin ini, memiliki kebiasaan apabila belajar dicatat, oleh karena itu banyak kitab-kitab karangan beliau. Tadi apabila siswa Fattah Hasyim sudah mampu menulis buku Ushul Fiqh dan Karya sastra, ini sebenarnya sama dengan meneruskan tradisi para ulama.
Pernah suatu ketika Syekh Yasin mengajar kitab Sunan Abu Dawud, kemudian sebelum mengajar beliau muthala’ah kitab Sunan Abu Dawud dan dicatat. Catatan-catatan Syekh Yasin tentang kandungan kitab Sunan Abu Dawud ini kemudian menjadi karya beliau. Sayangnya manuskrip Syarah Sunan Abu Dawud yang ditulis Syekh Yasin al-Fadani tersebut sampai sekarang dicari tapi belum ditemukan. Semoga segera bisa ditemukan, sebagai kekayaan khazanah karya ulama nusantara.
Seperti Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi al-Bantani apabila muthala’ah juga dicatat, oleh karena itu beliau memiliki karya tulis yang banyak. Sampai ketika beliau mengajar kitab “Minhajut Thalibin” karya Imam Nawawi. Suatu ketika Syekh Nawawi memiliki cita-cita untuk mensyarahi kitab “Minhajut Thalibin” dengan berkata, “Kitab ini, akan segera saya syarahi”. Tapi belum sempat beliau mensyarahinya, Allah lebih dulu memanggil beliau. Begitulah “Mautu alim”, sebelum wafat pun yang dipikirkan dan dibicarakan adalah ilmu.
Laki-laki seharusnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Semboyan “al-Rijalu qawamuna ala Nisa” itu, seharusnya dijadikan semboyan bahwa laki-laki semangat belajarnya harus lebih tinggi dari perempuan. Nah, kalau hari-hari ini banyak yang jadi the best adalah perempuan berarti semangat belajar laki-laki kalau dengan semangat belajar perempuan. Besok kalau menikah biarkan yang menjadi kepala rumah tangga istrinya saja.
Wallahu A’lam
Sumber: Ceramah KH. DR. Abdul Ghafur Maimun