Allah swt. berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa.”
Dalam ayat di atas terdapat 3 (tiga) kata kunci. Pertama “mulia”, kedua “Allah”, dan ketiga “takwa”. Ayat ini mengandung maksud bahwa mulia tidaknya seseorang sesungguhnya bergantung pada ketakwaannya kepada Allah swt. dan bukan kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan kata lain, yang disebut orang mulia sesungguhnya adalah mereka yang senantiasa berbuat kemuliaan berupa ketakwaaan. Definisi ini bersifat teologis karena bersumber pada keyakinan akan kebenaran firman Allah swt. di dalam Al-Qur’an.
Berdasar pada pandangan teologis tersebut, kita bisa membedakan antara orang mulia dengan orang yang dimuliakan. Orang mulia adalah mereka yang dimuliakan Allah karena senantiasa berbuat kemuliaan dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan Allah swt., dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Sedangkan orang yang dimuliakan adalah mereka yang secara sosiologis dihormati masyarakat karena memiliki latar belakang tertentu seperti: jabatan, keturunan, kekayaan, keilmuan atau keahlian, dan sebagainya.
Saya ingin mengajukan pertanyaan apakah orang mulia di sisi Allah itu sekaligus orang yang dimuliakan di dunia ini? Dengan kalimat lain, apakah orang-orang mulia karena ketakwaannya kepada Allah selalu dimuliakan juga oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya?
Jawabnya, “tidak selalu” karena secara faktual ada beberapa orang mulia di sisi Allah keberadaannya diremehkan oleh masyarakat disebabkan tidak memiliki latar belakang tertentu yang bersifat duniawi seperti jabatan penting, kekayaan melimpah, nasab tinggi, dan lain sebagainya. Tentu saja ada banyak orang mulia di sisi Allah yang juga dihormati dalam masyarakat karena memiliki kriteria-kriteria tertentu yang berlaku di masyarakat seperti tersebut di atas.
Salah satu contoh orang mulia di sisi Allah tetapi tidak dihormati oleh masyarakat adalah Uwais Al-Qarni, seorang pemuda miskin penduduk desa Qaran di Yaman. Dia menjalani kehidupan yang sulit bersama ibunya yang seorang janda. Ia pernah menderita penyakit kusta. Pakaiannya hanya ada dua helai. Uwais Al-Qarni bekerja hanya sebagai penggembala hewan ternak dengan upah tak seberapa. Dengan keadaan Uwais yang seperti itu ia sering ditertawakan, diolok-olok, dihina, dan dituduh mencuri ini mencuri itu. Tetapi semua perlakuan masyarakat seperti itu ia terima dengan sabar.
Ketika pada suatu hari ada seseorang yang bermaksud memberikan sedekah berupa dua helai pakaian, Uwais Al-Qarni menolaknya. Kepada orang tersebut, Uwais Al-Qarni mengatakan: “Saya khawatir kalau pakaian ini saya terima, nanti orang-orang menginterogasi saya dari mana saya mendapatkan pakaian ini. Mereka pasti tidak percaya dengan jawaban saya. Mereka akan menuduh saya kalau pakaian ini saya dapat kalau tidak dengan membujuk ya mencuri”.
Sungguhpun Uwais Al-Qarni hidup dalam kemiskinan, ia menjalani kehidupannya dengan penuh ketakwaan. Bahkan ketakwaannya diakui oleh Rasulullah saw. meskipun diantara mereka belum pernah saling bertemu. Hal yang sangat menonjol dari ketakwaan Uwais Al-Qarni sebagaimana diceritakan Rasulullah saw. adalah baktinya kepada sang ibu yang luar biasa. Sejak kecil Uwais Al-Qarni selalu taat dan hormat kepada ibunya. Ketika sang ibu telah tua dan lumpuh, bakti Uwais kepada sang ibu semakin bertambah.
Suatu hari sebenarnya ia sangat rindu untuk bertemu Rasulullah saw., namun ia selalu mengurungkan niatnya karena tak tega meninggalkan sang ibu sendirian di rumah tanpa ada yang merawatnya. Ketika pada suatu hari ia melihat ibunya cukup sehat, ia mendekat padanya untuk menyampaikan isi hatinya, yakni ingin bertemu atau sowan kepada Rasululullah saw. di Madinah. Uwais Al-Qarni memohon ijin kepada ibunya agar diperkenankan. Sang Ibu sangat terharu dengan keinginan Uwais untuk bertemu Rasululllah saw. Sang ibu menjawab: “Pergilah wahai anakku! Temuilah Nabi Muhammad saw. di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”.
Akhirnya, berangkatlah Uwais Al-Qarni ke Madinah yang jaraknya dari Yaman sekitar 400 kilometer. Tibalah Uwais Al-Qarni di kota Madinah dan segera menuju rumah Nabi Muhammad saw. Diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Tak ada jawaban dari Rasulullah saw. Ia hanya mendapat jawaban dari istri beliau Aisyah yang mengatakan Rasulullah saw. sedang berada di medan perang dan belum diketahui kapan beliau kembali. Uwais Al-Qarni teringat pesan ibunya untuk segera pulang. Maka segeralah ia pulang ke Yaman meski dengan hati yang hampa karena gagal bertemu Rasulullah saw. yang sangat dirindukannya. Namun sebelum pulang, Uwais Al-Qarni sempat menitipkan salam untuk Rasulullah saw. lewat Aisyah.
Ketika Rasulullah saw. pulang ke rumah, Aisyah memberitahukan tentang kedatangan seorang laki-laki tak dikenalnya beberapa waktu sebelumnya. Rasulullah saw. menjelaskan kepada Aisyah bahwa laki-laki itu bernama Uwais Al-Qarni meski beliau belum pernah bertemu secara langsung. Ia adalah anak yang sangat taat kepada ibunya. Ia tak populer di kalangan penduduk bumi karena miskin sekali, tetapi ia sangat terkenal di kalangan penduduk langit.
Sedemikian istimewa Uwais Al-Qarni hingga Rasulullah saw. menceritakannya kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib:
سَيَقْدَمُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ , فَدَعَا اللَّهَ لَهُ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ ، فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَهُ
“Kelak akan datang seorang laki-laki bernama Uwais. Ia memiliki belang putih. Ia berdoa agar Allah menghilangkan belang itu, maka Allah menghilangkannya (kecuali di lengannya). Barang siapa diantara kalian bertemu dia, maka termuilah dia dan mintalah padanya untuk memintakan ampunan kepada Allah.”
Pesan tersebut akhirnya benar-benar dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab ketika Rasulullah saw. telah wafat. Kepada Uwais Al-Qarni, kedua sahabat besar Rasulullah saw. tersebut mengatakan:
يَا أُوَيْس إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليه وَسَلَّم أَمَرَنَا أَنْ نَسْأَلُكَ أَنْ تَسْتَغْفِرُ لَنَا
“Hai Uwais sesungguhnya Rasulullah saw. telah memerintahkan kami agar engkau memintakan ampunan kepada Allah agar dosa-dosa kami diampuni-Nya.”
Mendengar apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab tersebut, Uwais Al-Qarni hanya bisa menangis, tetapi kemudian memberikan jawaban bisa jadi orang yang dimaksudkan Rasulullah saw. itu bukan dirinya. Tetapi Ali bin Abi Thalib terus mendesak agar ia mau mendoakan bagi Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib karena sangat menyakini bahwa dialah orang yang dimaksudkan Rasulullah saw. Akhirnya Uwais Al-Qarni bersedia memenuhi permintaan tersebut dengan memanjatkan doa ampunan kepada Allah bagi keduanya.
Dari kisah Uwais Al-Qarni di atas, ada beberapa hal yang dapat kita petik sebagai pelajaran berharga.
Pertama, orang mulia karena ketakwaannya kepada Allah swt. akan tetap mulia dan taat kepada-Nya meski seperti apapun kondisi sosial ekonominya. Ia akan tetap sabar dan istiqomah menjadi hamba-Nya yang shalih tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi seperti tidak dihormati oleh masyarakat karena miskin.
Kedua, janganlah kita memandang seseorang dari sisi duniawinya, lalu merendahkannya karena bisa jadi ia memiliki sisi ukhrawi yang jauh lebih baik daripada kita. Bisa jadi kita membutuhkan pertolongannya di akhirat kelak berupa syafaat karena orang-orang mulia di sisi Allah seperti Uwais Al-Qarni dapat memberikan syafaat kepada orang-orang tertentu. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa Uwais Al-Qani kelak ketika memasuki pintu surga diberhentikan langkah kakinya oleh Allah swt. Allah menghendaki agar Uwais Al-Qarni berhenti sebentar untuk memberikan syafaat terlebih dahulu kepada orang-orang dari kabilah Rabiah dan Mudhar yang membutuhkan pertolongannya.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kisah Uwais Al-Qarni. Barangkali di sekitar kita, ada orang-orang yang keadaannya mirip dengan Uwais Al-Qarni meski tidak sama persis, yakni tidak populer di masyarakat karena status sosialnya yang rendah. Orang seperti ini bisa jadi sangat poluler di kalangan penduduk langit jika terbukti memang selalu hidup dalam ketakwaan yang tinggi kepada Allah swt. dan selalu istiqomah dalam kebaikan-kebaikannya. Tidak selayaknya kita meremehkan orang seperti ini.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU