Suatu ketika saat penyusunan Mushaf Universitas Islam Indonesia, saat itu KH. Ahmad Baha’uddin Nur Salim atau yang masyhur dikenal sebagai Gus Baha’ ini masuk dalam tim penyusun sebagai Anggota Tim Lajnah Mushaf UII. Tim tersebut terdiri dari pakar tafsir dari Profesor, Doktor, dan ahli-ahli Al-Qur’an dari penjuru tanah air seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib, dan lain-lain.
Mungkin hanya Gus Baha’ lah pakar tafsir yang tak menyandang titel akademik karena beliau tercatat hanya nyantri di Pesantren Al-Anwar, Karangmangu, Sarang, Rembang asuhan KH. Maimun Zubair, selain mengaji kepada ayahandanya KH. Nur Salim al-Hafidz, murid KH. Arwani Amin Kudus dan KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati.
Namun entah mengapa saat penyusunan Mushaf tersebut Gus Baha’ lupa mencantumkan nama sahabat Abdullah bin Mas’ud dalam daftar nama sahabat yang meriwayatkan qira’at. Dalam mushaf tersebut memang dijelaskan secara ringkas tentang sejarah penurunan, periwayatan, pembukuan dan Ulumul Qur’an lainnya.
Dalam Buku Guru Orang-Orang Pesantren Terbitan Pondok Pesantren Sidogiri disebutkan, bahwa Sahabat Ibnu Mas’ud ini tergolong salah satu sahabat yang pertama kali masuk Islam (as-Sabiqunal Awwalun) bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah, Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau dikenal dengan julukan Sahibu Sawadi Rasulillah (yang mengetahui rahasia Rasulullah) karena kedekatannya dengan Rasulullah saw.
Rasululah saw. sendiri juga pernah bersabda tentang sahabat yang berpostur tubuhnya pendek dan kurus dengan warna kulit sawo matang ini “Barangsiapa ingin membaca Al-Qur’an seperti ketika diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi ‘Abd (Ibnu Mas’ud). Rasulullah saw. kembali bersabda “Belajarlah baca Al-Qur’an dari empat orang: Ibnu Mas’ud, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Salim Maula Abi Huzaifah”.
Sampai pada malam harinya, Gus Baha’ pun bermimpi bertemu dengan Abdullah bin Mas’ud. Dalam mimpi tersebut Abdullah bin Mas’ud menegur Gus Baha’ yang tak menuliskan namanya dalam daftar sahabat yang meriwayatkan Al-Qur’an.
Maka saat bangun, Gus Baha’ pun segera menuliskan sahabat yang masyhur sebagai ahli qur’an ini dalam Mushaf kampus Islam legendaris yang pertama diterbitkan pada tahun 1997 ini.
|
Gus Baha' sowan Mbah Maimun Zubair |
Begitulah sosok Gus Baha’, pria kelahiran Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah yang selalu berpenampilan sederhana, namun memiliki keilmuan yang amat mendalam. Ulama yang nasabnya bersambung sampai Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang dimakamkan di area Masjid Lasem, Rembang ini juga telah mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rawi, dan sanadnya saat masih nyantri di Sarang.
Kitab Fikih seperti Fathul Mu’in, Nahwu seperti Imrithi, Alfiyah bin Malik pun juga telah dihafal luar kepala. Sampai-sampai Mbah Moen pun berkata “Santri tenan iku yo koyo Baha’ iku” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha’).
Pengakuan kealimannya dalam bidang tafsir dan fiqh pun juga keluar dari pakar tafsir ternama penulis Tafsir Al-Misbah. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab. Dimana pendiri Pusat Studi Al-Qur’an dan Mantan Menteri Agama ini mengatakan demikan “Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Qur’an hinga detail-detail fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti Pak Baha’,”
Sungguh betapa luas samudera keilmuan ulama nusantara. Meskipun banyak diantara mereka yang tak sempat mengeyam pendidikan di Arab seperti KH. Ihsan Jampes (Penulis Sirojut Tholib syarh Minhajul Abidin karya Imam Ghozali), KH. Arwani Amin (Penulis Faidhul Barakat fi Qira’at Sab’ah) atau Gus Baha’ di era milenial ini, namun keilmuannya diakui oleh dunia. Semoga ke depan akan muncul generasi ulama-ulama berkaliber internasional yang lahir dari bumi Nusantara.
Disarikan dari Gus Qowim, Dosen Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur, Jogjakarta saat silaturrahmi ke kediaman Gus Baha’.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!