Laskar Bulkiyo adalah salah satu kesatuan militer yang dimiliki Pangeran Diponegoro. Laskar ini diilhami dari kesatuan militer milik Kesultanan Turki Utsmani. Pangeran Diponegoro mendapat ide ini dari usulan yang disampaikan oleh Kyai Badaruddin. Kyai Badaruddin adalah seorang ulama yang menjadi pengurus takmir Masjid Suronatan (Masjid milik Keraton Yogyakarta). Kyai Badaruddin sudah pernah dua kali menjalankan ibadah haji atas biaya Keraton Yogyakarta, dari pengalaman menjalankan haji inilah, Kyai Badaruddin mendapatkan ide (ilmu) tentang kesatuan militer milik Kesultanan Turki Utsmani. Laskar ini menjadi andalan Pangeran Diponegoro selain laskar-laskar lain, seperti; laskar pinilih, laskar arkiyo, laskar sikuding, dan lain-lain.
Laskar Bulkiyo dibentuk oleh Pangeran Diponegoro ketika perang sudah dimulai saat bermarkas di Selarong. Laskar ini pertama kali dipimpin oleh Kyai Muhammad Bahwi. Beliau dulunya adalah ulama yang menjadi penghulu/takmir di Masjid Suronatan, masjid pribadi milik Kesultanan Yogyakarta. Setelah Sultan Hamengkubowono ke-1 wafat, beliau mengikuti Ratu Ageng (istri Sultan Hamengkubono ke-1/nenek buyut Pangeran Diponegoro) untuk pindah ke Tegalrejo, Magelang. Kemudian beliau menjadi penghulu di Tegalrejo. Saat perang Jawa dimulai, Pangeran Diponegoro mengangkat beliau sebagai pemimpin kesatuan militer yang diberi nama Laskar Bulkiyo. Laskar ini adalah pengawal pribadi Pangeran Diponegoro.
Selanjutnya, setelah beliau diangkat menjadi panglima laskar Bulkiyo, lalu beliau diberi gelar Ali Basya Muhammad Utsman. Ali Basya Muhammad Utsman dan Ali Basya Abdul Kamil adalah dua orang Ali Basya (panglima) yang pertama-tama diangkat menjadi panglima perang oleh Pangeran Diponegoro. Laskar Bulkiyo berkekuatan antara 300 sampai 500 orang.
Laskar ini sudah berpengalaman menjadi kekuatan perang Pangeran Diponegoro, bahkan laskar ini menjadi garda depan dalam menghadapi pasukan Belanda. Terutama saat terjadi peperangan di wilayah goa Selarong, laskar ini memberikan perlawanan sengit terhadap pasukan Belanda. Laskar ini juga pernah menghadapi pasukan gabungan yang terdiri dari pasukan Belanda, pasukan Kesultanan Yogyakarta, dan pasukan Kasunanan Surakarta. Laskar ini meraih kemenangan besar menghadapi pasukan gabungan tersebut.
Perang besar yang menjadi kemenangan besar yang diraih laskar ini yaitu ketika Pangeran Diponegoro sedang istirahat di dekat sungai Progo (Kali Agung). Pada waktu itu pasukan Pangeran Diponegoro, pasukan Kasultanan, dan pasukan Kasunanan tidak sedang melakukan peperangan karena saat itu sedang ada acara Grebeg Maulid (peringatan Maulid Nabi) di Yogyakarta dan Surakarta.
|
Beberapa ulama di era penjajahan |
Pada malam maulid nabi tersebut, Pangeran Diponegoro beserta laskar Bulkiyo dan pasukan yang lain sedang mengadakan peringatan maulid Nabi dengan membaca beberapa shalawat nabi (mauludan). Pada pagi harinya, seorang pecalang mengatakan bahwa pasukan gabungan Belanda telah datang dengan jumlah yang sangat besar. Maka, terjadilah pertempuran hebat antara laskar Bulkiyo melawan pasukan gabungan Belanda.
Pada pertempuran itu, ada beberapa ulama yang gugur dalam membela agama dan tanah airnya. Di antara ulama yang gugur terdapat nama Kyai Guru Kasongan. Menurut catatan, Kyai Guru Kasongan adalah mertua Pangeran Diponegoro. Pada pertempuran tersebut, laskar ini juga hampir mengalami kekalahan, berkat pertolongan Allah akhirnya laskar ini berhasil meraih kemenangan walaupun ada beberapa korban dari laskar ini.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan gabungan Belanda, laskar ini juga melakukan perlawanan di daerah Jumeneng, Mriyan hingga daerah Dekso. Saat sampai di daerah Dekso, Pangeran Diponegoro menyusun kembali kekuatan pasukannya termasuk dengan menambah beberapa panglima perang (Ali Basya). Laskar Bulkiyo diberi tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk melakukan pertempuran di daerah Imogiri.
Selain pernah dipimpin oleh Ali Basya Muhammad Utsman, laskar Bulkiyo juga pernah dipimpin oleh Kyai Mojo. Pada saat dipimpin Kyai Mojo, laskar ini beberapa kali mengadakan perundingan dengan Belanda termasuk perundingan di daerah Mlangi. Namun sayang perundingan ini gagal. Setelah gagal berunding, Kyai Mojo dengan membawa pasukan laskarnya pulang menuju daerah Pajang, Mojo. Akan tetapi, baru sampai di daerah Klaten Kyai Mojo dan pasukan laskarnya disergap oleh pasukan Belanda. Akhirnya, Kyai Mojo beserta pasukan laskarnya diasingkan oleh kolonial Belanda ke pulau Sulawesi.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari penjelasan Roni Sodewo (Keturunan Pangeran Diponegoro)
Sumber: Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro yang ditulis dengan tulisan Arab Pegon
ADS HERE !!!