“Pada suatu hari Abdullah Ubaid datang ke rumah kami dengan dua putra beliau yang masih kanak-kanak. Yang pertama berumur 7 tahun, dan yang kedua kira-kira 5 tahun. Kejadian itu kira-kira pertengahan tahun 1936.”
Peristiwa itu diungkapkan KH. Wahid Hasyim dalam sebuah tulisan yang terbit pada Agustus 1941 berjudul Abdullah Ubaid sebagai Pendidik.
Abdullah Ubaid sendiri pada tahun itu telah tiada. Ia meninggal dunia pada tahun 1938 setelah NU melaksanakan muktamar yang ke-13 di Menes, Pandeglang, Banten. Ia meninggal pada usia relatif muda yaitu pada usia 39 tahun.
KH. Wahid Hasyim menulis tentang KH. Abdullah Ubaid karena ada pertautan yang sama dengan keduanya. KH. Abdullah Ubaid merupakan seorang yang mengabdikan hidupnya dalam pendidikan NU pada masa awal berdiri, yaitu menjadi seorang guru di Madrasah Nahdlatul Wathan, mendampingi KH. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur, di samping sebagai sekretaris majalah NU membantu KH. Mahfudz Shiddiq di majalah dua mingguan Berita Nahdlatoel Oelama, dan Ansor Nahdlatoel Oelama.
Sementara KH. Wahid Hasyim juga seorang pendidik yang mendirikan Madrasah Nidzamiyah di pesantren ayahnya, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Di madrasah tersebut, ia melakukan terobosan baru di kalangan pesantren jika ditakar pada masanya, yaitu memasukan pelajar umum 30 persen, di samping pendidikan agama. Di madrasah tersebut, di samping diajarkan bahasa Arab, juga Inggris dan Belanda. Suatu hal baru bagi kalangan pesantren tradisional pada masanya. Di samping itu, KH. Wahid Hasyim juga merupakan tokoh lembaga pendidikan NU pada masa awal berdiri, yaitu menjadi Ketua Ma’arif dan mengelola Soeloeh Nahdlatoel Oelama, sebuah majalah tentang pendidikan.
Di dalam tulisan yang disampaikan di awal tulisan ini, KH. Wahid Hasyim menceritakan bagaimana KH. Abdullah Ubaid mendidik anak-anaknya. Menurut penilaian KH. Wahid Hasyim, anak harus dibiasakan mengerjakan sesuatu dengan kemampuannya sendiri sebagaimana dipraktikkan KH. Abdullah Ubaid.
Di dalam tulisan tersebut, KH. Wahid Hasyim menceritakan anak Abdulllah Ubaid tidak mau meminum teh dari gelasnya. Pasalnya takut tumpah dan membasahi bajunya. Ternyata KH. Abdulllah Ubaid tidak mau membantu anaknya, malah membiarkannya.
Lalu bagaimana KH. Wahid Hasyim mendidik keenam anaknya?
Putra-putri KH. Wahid Hasyim adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Aisyah, Hamid Baidlowi, Salahuddin Wahid, Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, dan Hasyim Wahid. Di dalam mendidik anak-anaknya, hanya kepada si cikal, KH. Wahid Hasyim mendidik sampai usia belasan tahun karena ia meninggal dunia pada usia relatif muda pada tahun 1953 saat perjalanan dari Jakarta menuju Sumedang.
Sebagian cara KH. Wahid Hasyim mendidik anak-anak, terekam dari pandangan istrinya, Nyai Sholihah binti KH. Bisri Syansuri, yang diceritakan pada majalah Risalah Islamiyah. Ketika suaminya masih hidup, anak-anak sering mengaji kepada ayahnya sendiri di tengah kesibukannya menjabat sebagai menteri agama. Tradisi shalat jamaah pun diterapkan betul untuk mewujudkan kedisiplinan anak-anaknya. Setiap Maghrib harus berjamaah, lalu dilanjut dengan mengaji Al-Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jum’at, mereka juga diharuskan membaca tahlil secara berjamaah.
Dalam pandangan keluarga Kiai Wahid Hasyim, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral anak-anak sehingga peran apapun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga untuk taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan anak tidak mudah minder (kecil hati) karena Islam mendidik manusia berhati besar tetapi tidak sombong.
Sementara Nyai Sholihah sendiri menekankan kepada anak-anaknya agar berusaha menjadi diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua. Karena menurutnya, lebih baik menjadi orang besar karena karyanya sendiri daripada menjadi besar karena orang tuanya. Oleh sebab itu dalam pandangan Nyai Sholihah, bekal akhlak dan ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting.
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!