Para imam mazhab kita kenal memiliki hubungan guru-murid satu sama lainnya. Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, berguru kepada Imam Ja’far al-Shadiq, yang sanad biologisnya bersambung kepada Ali bin Abi Thalib –tentu berikutnya bersambung kepada Rasulullah saw.
Imam Malik, pendiri mazhab Maliki, berguru kepada salah satu murid utama Imam Abu Hanifah. Kemudian salah satu guru utama Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang kita anut di negeri ini, ialah Imam Malik, pengarang kitab terkenal, Al-Muwaththa’. Dan, terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada Imam Syafi’i.
Secara sanad keilmuan, tiada keraguan sama sekali atas kesinambungan relasi tersebut, sehingga kita pun hari ini menerima semua mazhab itu sebagai yang sahih dan otoritatif.
D antara riwayat terkenal hubungan guru-murid Imam Malik dan Imam Syafi’i ialah dialog perihal tawakkal dan ikhtiar.
Imam Syafi’i yang masih muda meyakini bahwa manusia mesti melakukan ikhtiar atau usaha, untuk menggapai hajatnya. Kira-kira, ia berprinsip bahwa tidak ada sesuatu yang turun percuma dari langit. Dalam bahasa kita hari ini: “Tak ada makan siang gratis.”
Sebaliknya, Imam Malik yang lebih sepuh mengajarkan bahwa tawakkal lebih utama daripada ikhtiar, karena ikhtiar pun pada hakikatnya adalah kehendak dan karunia Allah swt. sehingga kita mesti menerimanya, apa pun itu. Maka bertawakkal adalah jawaban paling tepatnya.
Perbedaan pandangan antara guru dan murid ini berjalan sejuk belaka. Sebagai guru yang bijaksana, Imam Malik tak pernah memaksakan pandangannya untuk ditelan bulat-bulat dengan paksa oleh muridnya, Imam Syafi’i. Dan Imam Syafi’i pun tak pernah melabrakkan pandangannya dengan frontal kepada gurunya.
|
Makam Imam Malik di Madinah |
Suatu hari, Imam Syafi’i ingin makan ikan. Pergilah ia ke pasar untuk membeli ikan. Saat memilih-milih ikan, ia teringat pada gurunya, Imam Malik. Ia pun membeli ikan dalam jumlah yang agak banyak sembari bergumam: “Jika saya tak berikhtiar pergi ke pasar, membeli ikan-ikan ini, mana mungkin saya bisa dapat ikan ini? Inilah bukti utamanya ikhtiar.”
Selang kemudian, Imam Syafi’i membawa ikan-ikan yang hendak dihadiahkan ke rumah gurunya. Imam Malik menerima hadiah ikan-ikan itu dengan wajah sumringah.
Imam Syafi’i lalu berkata, “Guru, umpama saya tak pergi ke pasar sebagai ikhtiar, apakah mungkin ikan-ikan ini bisa saya hadiahkan kepada Anda?”
Tentunya, Imam Syafi’i memaksudkan ucapan tersebut untuk menyitirkan keteguhan pandangannya bahwa ikhtiar lebih utama daripada tawakkal.
Sembari tersenyum, Imam Malik menjawab tenang, “Alhamdulillah, saya tak perlu pergi ke pasar, hanya berdzikir di rumah, direzekikan-Nya ikan-ikan ini kepada saya melalui perantara hadiahmu ini….”
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!