Masyarakat Indonesia pada 1942 sempat lega ketika Jepang yang mengaku saudara tua di Asia telah mengusir penjajahan Belanda di tanah air. Namun berjalannya waktu, mental dan karakter penjajah Jepang semakin terlihat. Mereka tidak jauh berbeda ketika memperlakukan rakyat semena-mena, melakukan pemaksaan, penangkapan, penyiksaan, penarikan hasil bumi secara paksa, dan lain-lain.
Perjuangan melawan pendudukan Jepang bagi santri dan ulama pesantren tidak kalah sulit. Apalagi ketika salah satu guru para ulama di Jawa, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang karena tuduhan mengada-ada. Kontak fisik dan senjata kerap terjadi, diplomasi dan perundingan terus dilakukan, sembari melakukan riyadhah-rohani untuk meminta kekuatan, perlindungan, pertolongan Yang Maha Kuasa.
Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH. Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)
Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh KH. Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.”
Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, KH. Wahid Hasyim kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta KH. Wahid Hasyim bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional, kalangan pemuda, dan rakyat jelata. Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan sopir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.
Suatu hari, seorang Pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepada KH. Saifuddin Zuhri bahwa seorang petani bernama Husin minta berjumpa dengan KH. Wahid Hasyim. Akhirnya kedua orang ini bertemu dan cukup lama mengadakan pembicaraan. Setelah petani itu pergi, KH. Wahid Hasyim memberitahukan kepada KH. Saifuddin Zuhri bahwa petani tersebut tak lain adalah Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik dan Chaerul Saleh. (KH. Saifuddin Zuhri, 2001: 274)
“Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad SAW pernah mengatakan, Al-Harbu Khid’ah, bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat.” Pernyataan tersebut dikatakan oleh KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) ketika membincang strategi perjuangan menghadapi penjajah Nippon atau Jepang dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah Kedu, KH. Saifuddin Zuhri pada tahun 1943.
Al-Harbu Khid’ah diungkapkan oleh KH. Wahid Hasyim karena bangsa Indonesia saat itu dalam kondisi peperangan melawan penjajah. Kondisi ini diperhatikan betul oleh para kiai pesantren untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan kolonialisme, bukan tipu muslihat dalam artian negatif.
Dalam obrolan ringan ditemani seduhan teh hangat di tengah panasnya peperangan, KH. Wahid Hasyim mengeluarkan sebuah tas dan memberikan isinya kepada Kiai Zuhri. Awalnya KH. Saifuddin Zuhri terheran dengan sesuatu yang dibungkus oleh plastik tersebut dan diberikan kepadanya.
Setiap kali dipanggil KH.Wahid Hasyim di kediamannya, Kiai Zuhri memang dipersiapkan menerima komando. Tidak jarang Kiai Zuhri harus berkeliling mengunjungi tokoh-tokoh kiai dan pemuda di Karesidenan Kedu (Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, Kabupaten dan Kota Magelang) untuk menyampaikan pesan perjuangan KH. Wahid Hasyim.
Dalam perjuangan penuh liku-liku menghadapi Jepang, pada tahun 1945, Indonesia berhasil memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Seluruh pergerakan nasional dari santri, tokoh nasionalis, dan rakyat tidak terlepas dari bimbingan kiai-kiai pesantren terutama KH. Hasyim Asy’ari. Namun, proklamasi kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan karena Indonesia masih harus berjuang menghadapi agresi militer Belanda II dan para pemberontak.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU