Imam Abu Bakr al-Thurthusyi dalam kitab al-Du’a al-Ma’tsurat wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da’i Ittiba’uhu wa Ijtinabuhu mengatakan salah satu adab berdoa adalah mengesakan Allah. Kemudian ia mencontohkan doa Nabi Yunus ‘alaihissalam dalam Al-Qur’an. Ia menulis:
“Sebagian dari adab doa adalah engkau memulainya dengan meng-Esa-kan Allah seperti yang dilakukan Dzu Nun (QS. Al-Anbiya: 87): 'Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.'
“Dzu Nun (Yunus) menyeru Allah dengan tauhid (peng-Esa-an), kemudian menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan kezaliman dengan tasbih, lalu mengakui dirinya sendiri penuh kezaliman, dengan kesungguhan pengakuan dan perasaan pantas dihukum (istihqaq). Allah subhanahu wata'ala, berfirman (QS. Al-Anbiya’: 88): 'Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan'.” (Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’a al-Ma’tsurat wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da’i Ittiba’uhu wa Ijtinabuhu, hal. 21)
Dalam surah Al-Anbiya ayat 87, Nabi Yunus menggunakan kalimat, “an la ilaha illa anta” (bahwa tidak ada tuhan kecuali Engkau) yang merupakan bentuk tauhid (pengesaan) kepada Allah dari sesembahan lainnya. Dilanjutkan dengan kalimat, “subhanaka” (Maha Suci Engkau) sebagai bentuk penyucian Allah dari segala sesuatu. Lalu kalimat, “sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang zalim”, sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa di saat berdoa seyogyanya kita mentauhidkan Allah terlebih dahulu, lalu menyucikan-Nya dari segala sesuatu dan menghinakan diri kita sendiri sebagai hamba yang penuh dosa, baru kemudian meminta tanpa henti.
Karena itu, setelah Nabi Yunus ‘alaihissalam terus meminta, Allah menjawab (QS. Al-Anbiya’: 88): “maka Kami perkenankan/kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan”. Untuk mengetahui lebih jauh, kita harus memahami terlebih dahulu runtutan kisah Nabi Yunus dalam surat Al-Anbiya’. Berikut runtutannya:
Dalam ayat yang dikutip Imam Abu Bakr al-Thurthusyi dalam penjelasannya, di depan ayat tersebut terdapat kalimat (QS. Al-Anbiya’: 87):
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya).”
Dalam Tafsir al-Jalalain, maksud kata “mughadliban” (dalam keadaan marah) adalah untuk kaumnya (li qaumihi). Kemarahan ini disebabkan oleh perlakuan buruk kaumnya kepadanya hingga ia memilih pergi meninggalkan mereka, padahal Allah belum mengizinkannya (wa lam yu’dzan lahu fî dzalik). Karena itu, Allah memutuskan untuk mempersempitnya dengan menahannya di dalam perut ikan paus (naqdli mâ qadlaynâhu min habsihi fi bathnil khût aw nudlayyiq ‘alaihi bi dzalik). (Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalalain al-Muyassar, hal. 329)
Setelah berada di perut ikan paus, Nabi Yunus merasakan susahnya tinggal dalam kegelapan, yang dalam Tafsîr al-Jalalain diterangkan dalam tiga bentuk, yaitu, “kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut ikan paus”. Kemudian ia menyeru (berdoa) kepada Allah, “Bahwa tiada tuhan kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang zalim.”
Kata “orang-orang yang zalim” ditafsirkan sebagai, “karena kepergianku dari kaumku tanpa izin”. (Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalalain al-Muyassar, hal. 329) Dan Allah pun mengabulkan doa Nabi Yunus ‘alaihissalam dengan mengatakan: “maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan ia dari kedukaan.”
|
Makam Nabi Yunus |
Hikmah riwayat di atas adalah, bahwa berdoa bisa dilakukan dalam keadaan apa saja, dan dilakukan oleh siapa saja, meskipun oleh orang yang sering berbuat salah selama doa yang dipanjatkannya hanya kepada Allah. Dan yang tidak kalah penting, doa itu dilakukan berulang-ulang atau terus-menerus. Imam Abu Bakr al-Thurthusyi menyebutnya, “mendesak terus/pantang menyerah dalam doa”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda riwayat Imam Abu Nu’aim:
“Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya ada seorang hamba yang berdoa kepada Allah, tapi Allah sedang murka kepadanya, maka Allah tidak mengindahkan doanya. Kemudian ia berdoa kepada Allah (lagi), Allah tidak mengindahkan doanya (kembali). Kemudian ia berdoa kepada Allah (lagi), lalu Allah berkata kepada para malaikat-Nya: “Hamba-Ku ini tidak mau berdoa kepada selain-Ku, maka Aku sungguh mengabulkan doanya.” (Imam Abu Bakr al-Thurthusyi, al-Du’a al-Ma’tsurat wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da’i Ittiba’uhu wa Ijtinâbuhu, 2002, h. 21)
Doa yang dilakukan terus-menerus memiliki kemungkinan pengabulan lebih tinggi dari doa yang sekedarnya saja, bahkan jika doa itu dilakukan oleh orang yang sedang Allah murkai. Namun, kita perlu pahami bahwa “murka” Allah bukanlah wilayah yang bisa diakses manusia. Artinya, kita tidak mungkin tahu siapa yang sedang Allah murkai. Kita tidak bisa mengatakan, “Allah murka kepada si A, si B, dan seterusnya.” Itu hak mutlak Allah yang tidak bisa kita masuki. Daripada salah dalam prasangka buruk (su’udhan), lebih baik salah dalam prasangka baik (husnudhan).
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa doa kepada Allah termasuk pernyataan keimanan seseorang hingga Allah mengatakan: “Hamba-Ku ini tidak mau berdoa kepada selain-Ku, maka Aku sungguh mengabulkan doanya."
Oleh sebab itu, kita jangan sampai lupa mengesakan Allah, menyucikan-Nya, dan menzalimkan diri kita sendiri ketika memohon sesuatu kepada-Nya (berdoa). Kita juga jangan sampai lupa untuk terus-menerus berdoa kepada-Nya, memohon tanpa henti, karena semakin sering kita berdoa, semakin besar peluang doa kita terkabul.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU