Ada orang yang memiliki kecerdasan karena dia memang cerdas seperti Imam Syafi’i. Beliau sudah menjadi yatim sejak umur 2 tahun sudah yatim. Beliau juga memilki ibu yang spesial yaitu ibu yang memerhatikan pendidikan anaknya. Karena anak luar biasa pasti lahir dari ibu yang luar biasa pula, dan benar ada dawuh “Allimu nisaakum” atau didiklah perempuan-perempuan, karena merekalah pencetak generasi masa depan.
Ibu Imam Syafi’i ketika ditinggal suaminya wafat, yang dipikirkan adalah pendidikan anaknya harus beres. Oleh karena itu dari Gaza Palestina, Imam Syafi’i diajak ke Mekkah oleh ibunya. Pada saat itu, keadaan mereka sungguh miskin. Jadi biasanya orang cerdas itu, tumbuh dari keluarga yang miskin. Karena miskin, ketika nyantri ongkosnya minim dan Imam Syafi’i tidak banyak melakukan aktifitas selain hanya untuk giat belajar. Ini seperti dawuh dari Thalhah bin Ufidz ketika ditanya kenapa Abu Hurairah cerdas?. Karena beliau miskin, sehingga tidak ada aktifitas lain kecuali fokus mengaji kepada Rasulullah.
Nah, mungkin mungkin ini adalah salah satu kiat rahasia cerdas, yaitu karena miskin dan Imam Syafi’i tidak sempat melakukan apa-apa, hanya belajar terus menerus. Oleh karena itu, wali santri kalau ingin punya anak yang rajin jangan dikasih uang saku banyak ketika mondok, dari tidak punya bekal banyak para santri akan belajar prihatin.
Kalau ada santri tidak diberi uang saku banyak, itu bukan karena orang tua tidak sayang. Tapi karena mereka harus fokus belajar, dan melatih keprihatinan terhadap sesama. Kalau uang sakunya banyak, mereka akan sering keluar dan melakukan banyak hal, sehingga tidak fokus belajar.
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik. Ketika umur 14 tahun Imam Syafi’i telah hafal kitab al-Muwatha’ (kitab hadits yang lebih tebal dari Al-Qur’an). Nah, uniknya Imam Syafi’i ketika belajar adalah dengan menggunakan jari untuk menulis dengan media air. Oleh Imam Malik hal itu kemudian ditegur, “Kamu ini, waktunya belajar kok malah bermain”. Imam Syaf’ii menjawab, “Saya tidak sedang bermain Guru, saya sedang mencatat pelajaran yang Anda terangkan di atas air”. Kemudian Imam Malik berkata, “Kalau kamu mencatat dengan air pasti akan hilang”. Kemudian Imam Syafi’i menjawab, “Sebelum catatan saya di air itu hilang, Saya telah menghafalnya terlebih dahulu Guru”. Imam Syafi’i dikenal memilki kekuatan menghafal yang luar biasa bahkan ketika beliau berumur 4 tahun, sudah hafal Al-Qur’an.
Para wisudawan Fattah Hasyim yang tadi jadi the best, itu adalah cerdas “gawan”, tirulah Imam Syafi’i, maka insyaAllah kamu akan jadi orang baik. Imam Syafi’i selain murid yang luar biasa juga memiliki guru yang luar biasa, seperti Imam Malik. Imam Malik adalah guru yang memiliki ketajaman di dalam membaca keadaan murid-muridnya. Oleh karena itu beliau berpesan kepada Imam Syafi’i:
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan, sungguh, engkau memiliki masa depan yang cemerlang. Sesungguhnya Allah telah menancapkan cahaya dalam hatimu. Maka, jangan sekali-kali engkau memadamkannya dengan kemaksiatan!.”
Diceritakan, bahwa Imam Syafi’i berangkat dari Mekah tempat bermukim ibunya, ke Madinah tempat Imam Malik mengajarkan ilmu, menempuh waktu sampai 8 hari. Dalam perjalanan nyantrinya, Imam Syafi’i berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an 16 kali. Mungkin inilah hadiah tawasul (riyadhah) dari Imam Syafi’i yang memang sudah terpesona ingin menjadi murid Imam Malik, yaitu dengan mengkhatamkan Al-Qur’an 16 kali selama 7 hari perjalanan.
Sampai di Madinah, hal pertama yang dilakukan Imam Syafi’i adalah sowan kepada manusia paling mulia yaitu Baginda Muhammad SAW. Pucuk dicinta ulam pun tiba, seusai Imam Syafi’i ziarah di makam Nabi, ia mendapati sang idola Imam Malik yang sedang mengajar hadits dengan gayanya ketika menjelaskan menyebut “an shohibi hadzihil maqbarah”, kalimat itu beliau ucapkan untuk mengajak psikologi murid-muridnya agar lebih khidmat (serius) belajar hadits.
Para kiai itu kalau mendidik santri punya haibah. Saya dulu ngaji di Sarang, lalu kuliah di Mesir. Kalau di pondok sering sekali, ada rasa haru guru dalam menerangkan, atau ketika kiai membaca kitab sering menangis. Beda dengan kuliah saya belum pernah tahu, ada dosen saya menangis ketika menerangkan pelajaran. Kadang-kadang santri baca Al-Qur’an menangis, justru ini menjadikan santri yang dekat kepada Allah. Nah, itulah yang dilakukan Imam Malik dengan menyebutkan kalimat “An-Shohibi maqabarah”, ketika membacakan hadits karena mangaji di Raudhoh.
Imam Syafi’i memiliki akhlak yang tinggi terhadap Imam Malik gurunya, diceritakan ketika Imam Syafi’i berhadapan dengan Imam Malik, kharisma dan haibah Imam Mailk langsung masuk ke dalam hati beliau, sampai Imam Syafi’i tidak berani membalik kitab untuk memindah halaman. Ini dilakukan Imam Syafi’i karena saking takutnya bergerak di depan Imam Malik. Sehingga Imam Syafi’i tidak pernah pergi berpindah pondok untuk mengaji sampai Imam Malik wafat.
|
Makam Imam Syafi'i |
Cerita tersebut seperti yang dilakukan Abu Hanifah atau Imam Hanafi yang mengaji kepada Syekh Hammad bin Sulaiman mulai dari beliau umur 22 tahun sampai beliau umur 42 tahun, ketika Syekh Hammad telah wafat. Tradisi seperti ini masih lestari di kalangan ulama Nusantara seperti Mbah Manaf mondok sampai umur 40 tahun. Mbah Ghazali pendiri pondok Sarang juga mondok sampai 40 tahun dan kemudian baru menikah.
Imam Abu Hanifah ditengah-tangah mondoknya, sudah ingin boyong karena sudah memiliki keinginan mendirikan majlis ilmu sendiri. Pada saat itu, beliau merasa sudah alim, sehingga beliau pindah ke Basrah (Irak), untuk adu kehebatan. Di Basrah, beliau menerima semua pertanyaan namun hanya ada beberapa masalah yang sanggup beliau jawab. Dari sana, beliau sadar bahwa beliau masih belum cukup matang dalam hal keilmuan, sehingga beliau nyantri kembali sampai umur 40 tahun, ketika Syekh Hammad wafat.
Jadi faktor “Irsyadu ustazin” untuk menghasilkan murid luar biasa itu memang ada. Yaitu Abu Hanifah dengan Imam Hammad, Abu Hurairah dengan Nabi Muhammad, dan Imam Syafi’i dengan Imam Malik.
Imam Syafi’i setelah ditinggal wafat Imam Malik, karena saking fakirnya beliau tidak punya buku. Kalau ingin mengkhatamkan buku beliau bermain ke rumah temannya, dengan maksud ingin membaca buku untuk dikhatamkan. Setelah itu beliau berpindah ke Yaman, dan menjadi stafnya qadli, atau semacam ASN kalau sekarang. Karena menjadi staf qadli, beliau dibayar pemerintah dan qadlinya. Setelah dirasa cukup beliau berpindah ke Baghdad untuk mengaji dengan santrinya Abu Yusuf dalam riwayat lain Muhammad bin Hasan. Beliau mengikuti jejak Nabi Musa yang walaupun sudah alim tetap mau belajar kepada Nabi Khidir. karena Wa fauqa dzi alimin, aliman.
Zaman sekarang apa masih ada?. Misalnya sudah jadi Rois Syuriah, disuruh ngaji lagi, atau mondok lagi, kira-kira mau atau tidak?. Nah, Nabi Musa tetap mau nyantri kepada Nabi Khidir dan Imam Syafi’i ngaji lagi kepada murid Abu Yusuf.
Imam Syafi’i ngaji lagi selama 3 tahun, lalu pulang ke Madinah. Beliau membawa dua kendaraan, satu kendaraan untuk mengendarai beliau dan satu kendaraan untuk membawa kitab-kitab yang beliau beli dari hasil kerja. Begitulah Imam Syafi’i, sudah melalang buana mencari ilmu, mendapat “Ijazatul Iftak”, tapi ketika umur 34 tahun beliau baru membuka majlis.
Wallahu A’lam
Sumber: Ceramah KH.DR. Abdul Ghafur Maimun