Dalam kitabnya yang terkenal al-Muqaddimah, sejarawan ternama Ibnu Khaldun (wafat 17 Maret 1406) menganalisa penyebab hancurnya Bani Umayyah dan juga Bani Abbasiyah. Ibnu Khaldun menyebut faktor penerus para Khalifah Umayyah yang lebih cinta duniawi dan melupakan perjuangan pendahulu mereka.
Lantas datanglah periode Khilafah Abbasiyah yang berhasil menumbangkan Khilafah Umayyah dan mencapai kekuasaan puncak. Awalnya mereka berupaya mengarahkan jalannya kekuasaan menuju kebenaran, lantas tiba pada generasi anak cucu Harun ar-Rasyid memegang kekuasaan, semuanya berubah.
Di antara mereka, menurut Ibnu Khaldun, terdapat orang yang shaleh dan orang yang jahat sekaligus, sehingga kekuasaan menjadi sarana bermegah-megahan dan mereka para Khalifah Abbasiyah tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Mereka melanggar nilai-nilai agama secara terang-terangan, kata Ibnu Khaldun, sehingga Allah mencabut kekuasaan dari tangan orang Arab secara total. Allah lantas mengizinkan bangsa-bangsa lain merebut kekuasaan mereka.
Ibnu Khaldun, yang wafat di era Dinasti Mamluk, menegaskan bahwa Allah tidak pernah berbuat kezaliman sedikit pun kepada para hamba-Nya. Seolah beliau hendak menegaskan bahwa kehancuran Khilafah Umayyah dan Abbasiyah akibat ulah mereka sendiri. Ibnu Khaldun menggarisbawahi bahwa bagi siapa yang mau mengamati perjalanan sejarah para khalifah maka akan mengetahui kebenaran pernyataan beliau ini.
Ibnu Khaldun lantas mengutip al-Mas’udi, sejarawan Arab klasik yang wafat tahun 956, yang mengisahkan hal yang sama mengenai tingkah laku Bani Umayyah, ketika Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah kedua Abbasiyah, menemui pamannya. Mereka mencari info tentang Bani Umayyah. Abu Ja’far menjawab:
“Khalifah Abdul Malik itu penguasa yang otoriter dan tidak peduli dengan apa yang dia lakukan. Khalifah Sulaiman itu hanya memikirkan isi perut dan kemaluannya saja. Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Azis itu bagaikan orang yang buta sebelah di kawanan orang yang buta kedua matanya. Orang yang menjadi pemimpin itu adalah Khalifah Hisyam.”
Ibnu Khaldun melanjutkan kutipan Abu Ja’far yang bercerita lebih lanjut bahwa di awal mulanya Bani Umayyah memenuhi tanggung jawabnya, lantas mereka memuaskan hawa nafsunya dan durhaka kepada Allah. Karena kelalaian inilah Allah memakaikan baju kehinaan kepada mereka.
Kemudian Abu Ja’far memanggil Abdullah bin Marwan yang menceritakan pertemuannya dengan Raja Nubia (ini kawasan antara Mesir dan Sudan) ketika dia melarikan diri dari pengejaran Khalifah As-Saffah (Khalifash Abbasiyah pertama). Dikisahkan dialog antara sang Raja Nubia dengan Abdullah bin Marwan.
Raja Nubia bertanya: “Mengapa Anda minum minuman keras yang dilarang dalam kitab suci Anda?”
Abdullah menjawab: “Budak dan pengawal kami yang melakukannya.”
Raja Nubia bertanya: “Mengapa kalian merusak tanaman dan hewan ternak, bukannya itu perbuatan yang diharamkan?”
Abdullah sekali lagi menjawab: “Budak dan pengikut kami yang berbuat itu karena kebodohan mereka”
Raja bertanya lagi: “Mengapa kalian memakai sutera dan emas padahal itu diharamkan atas kalian?”
Abdullah menjawab: “Kekuasaan kami dihancurkan bangsa non-Arab (Persia). Mereka masuk agama kami dan mereka memakai sutera dan emas, padahal kami membencinya.”
Mendengar semua jawaban ngeles dari Abdullah ini, Raja Nubia berkata: “Budak kami, pengawal kami, pengikut kami, bangsa non-Arab!!! Kenyataanya tidak seperti yang Anda katakan. Kalianlah yang menghalalkan apa yang diharamkan. Kalian melakukan perbuatan yang dilarang dan menyalahgunakan kekuasaan sehingga Tuhan menimpakan bencana kehinaan kepada kalian (Bani Umayyah)”.
Raja Nubia dengan gusar melanjutkan: “Aku khawatir jika Tuhanmu menimpakan azab-Nya kepada kalian sekarang sedangkan kalian tengah berada di negeriku, aku pun akan terkena musibah bersama kalian. Bertamu hanya tiga hari, setelah itu keluarlah dari negeriku!”
Ibnu Khaldun lantas memberi komentar yang menohok atas kisah di atas: “Jelaslah bagi Anda kini bagaimana kekhilafahan berubah menjadi kekuasaan duniawi semata.”
|
Sisa kejayaan Islam |
Dari penjelasan Ibnu Khaldun ini maka berhentilah kita untuk selalu menyalahkan orang lain. Sudah saatnya kita bersikap jujur terhadap kenyataan dan fakta sejarah masa lalu. Kalau generasi terbaik di masa lampau saja tidak tahan godaan duniawi dan syahwat kekuasaan, apa jaminannya kalau anak-anak HTI yang koar-koar soal khilafah bisa lebih baik dari generasi masa lalu? Tidakkah kita khawatir akan kecemplung masuk lubang kehinaan sekali lagi?
Jangan double standard: kalau ada yang baik dari periode khilafah masa lalu, langsung koar-koar betapa hebatnya khilafah sebagai solusi saat ini. Kalau ditunjukkan khilafah masa lalu juga ada cacatnya, buru-buru ngeles kayak gaya jawaban Abdullah di atas: seolah kejelekan itu pada masa kerajaan, bukan pada masa khilafah. Yang baik diaku masa khilafah, yang jelek diaku masa kerajaan. Padahal sama-sama bicara periode Umayyah dan Abbasiyah.
Modus anak-anak HTI yang lugu dan lucu itu adalah mengkritik sistem demokrasi, lantas menyebutkan fakta kehebatan khilafah masa lalu sebagai solusi masa kini. Ketika tulisan-tulisan saya mengungkapkan bahwa sejarah khilafah juga banyak yang bermasalah, mereka kejang-kejang dan marah kepada saya karena modus mereka langsung tumbang berantakan.
Akhirnya saya dibilang liberal dan kafir oleh anak-anak HTI. Semoga setelah membaca tulisan saya ini, mereka tidak lantas mengatakan Ibnu Khaldun itu liberal dan kafir.
Penulis: Nadirsyah Husein (Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand, Dosen Senior Monash Law School)
Sumber: Situs PBNU