Pada saat Pangeran Diponegoro sedang menjalani peperangan melawan Belanda di daerah Kulonprogo, terjadilah perselisihan pendapat antara Kyai Mojo dengan Pangeran Ngabehi Joyokusumo. Bersamaan dengan itu, istri tercinta Pangeran Diponegoro yang bernama RA. Maduretno sedang mengalami sakit keras. Perlu diketahui, bahwa jarak antara medan perang dengan tempat tinggal istrinya lumayan jauh.
Setelah peperangan usai dan perselisihan kedua sahabatnya sudah diselesaikan, Pangeran Diponegoro pamit pulang sebentar kepada keduanya untuk menengok istrinya yang sedang sakit keras dan keadaannya sangat mengkhawatirkan. Akan tetapi, sebelum meninggalkan kedua sahabatnya itu, beliau meminta keduanya untuk tetap tinggal di medan peperangan agar keadaan bisa dikendalikan.
Pangeran Diponegoro mengungkapkan, bahwa walaupun istri tercintanya sedang sakit keras dan sudah tidak bisa makan dan minum namun ia tetap rajin beribadah.
Setelah Pangeran Diponegoro sampai di rumah istri tercintanya, terjadilah dialog antara beliau dengan istrinya:
“Bidadariku, sekarang silahkan, jika engkau akan pulang dulu ke alam keabadian (wafat), dan kelak pasti akan ketemu antara merah delima (engkau) dengan aku. Kalau Allah menghendaki, mudah-mudahan kita bisa bertemu di akhirat dengan diriku. Wahai pujaanku, aku sudah rela (ikhlas) apabila aku ditinggal lebih dulu, bahwa aku tidak bisa (sanggup) melihat kalau tubuhmu semakin rusak.” kata Pangeran Diponegoro
Istrinya menjawab sambil tersenyum dengan bertutur lirih: “Apabila ada kesalahan saya yang lahir maupun batin, saya betul-betul minta maaf kepada Paduka yang terhormat, mungkin ada kesalahan saya dalam melayani Paduka karena saya sering lamban dalam melayani Paduka, bahkan apabila kesalahan itu masih samar-samar.”
“Wahai kekasihku, janganlah engkau berkecil hati, mudah-mudahan Allah mendengarkan apa yang sudah engkau ucapkan, dan mudah-mudahan engkau pun memaafkan diriku, wahai pujaanku. Mudah-mudahan, pujaan hatiku mau memaafkan, karena aku sering tidak benar juga dalam bertindak.” sahut Pangeran Diponegoro
“Aku minta kepada Allah di dunia maupun akhirat, mudah-mudahan selama ini aku selalu berbakti dan hanya mengabdi kepada Paduka, dan saya minta kepada Allah di dunia maupun akhirat semoga masih bisa tulus mengabdi kepada Paduka, bahkan seandainya berada di neraka aku akan tetap melayani.” harap istri tercintanya
Hal itulah yang membuat air mata Pangeran Diponegoro mengalir.
Setelah menemui istri tercintanya, pagi harinya Pangeran Diponegoro kembali ke medan perang yang jaraknya ditempuh selama 4 jam dengan berkuda. Sepeninggal Pangeran Diponegoro, sakit istrinya semakin parah. Istri Pangeran Diponegoro berkata kepada salah satu pembantunya yang bernama Kyai Shoban, bahwa ia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi suaminya. Akan tetapi, Kyai Shoban tidak sanggup melihat keadaan junjungannya itu yang akan wafat. Lalu Kyai Shoban minta kepada Allah agar ia diwafatkan lebih dulu sebelum junjungannya. Dan Allah mengabulkan doa Kyai Shoban. Kyai Shoban wafat setelah berdoa kepada Allah.
|
Makam Imogiri |
Beberapa hari kemudian, di medan perang, seusai Pangeran Diponegoro menjalankan shalat malam dan menjalankan shalat Subuh, dalam keadaan sadar dan tidak sadar Pangeran Diponegoro didatangi oleh istri tercintanya, disitulah istri tercintanya pamit kepada Pangeran Diponegoro. Kemudian Pangeran Diponegoro hanya bisa termenung, yang diingat hanyalah istrinya, beliau duduk di serambi sebuah langgar (mushola) dengan bersandar di tiang langgar, terdiam sambil mengenang istrinya, membayangkan sakit istrinya di tempat jauh, dan tidak mau berbicara apapun.
Sahabat-sahabat Pangeran Diponegoro yang melihat keadaannya hanya bisa tertunduk akan keadaan pimpinannya. Kemudian pada saat itu, terjadilah hujan lebat disertai gempa bumi kira-kira masuk shalat Dhuhur.
Setelah hujan reda dan gempa berhenti, Kyai Mojo mengabarkan kepada Pangeran Diponegoro, bahwa Pangeran Mangkubumi datang. Perlu diketahui, Pangeran Mangkubumi adalah paman Pangeran Diponegoro yang bertugas menjaga keluarga Pangeran Diponegoro. Kedatangan Pangeran Mangkubumi untuk mengabarkan kepada Pangeran Diponegoro bahwa istrinya (RA. Maduretno) telah wafat. RA. Maduretno wafat setelah menjalankan shalat Subuh. Isak tangis terdengar di medan perang dari para sahabat dan pengikut Pangeran Diponegoro, akan tetapi Pangeran Diponegoro justru menenangkan, “Sudahlah, kalian jangan bersedih, ini adalah takdir, siapa yang bisa merubah takdir?”.
Lalu berangkatlah Pangeran Diponegoro bersama adiknya (Pangeran Abdul Majid) dan Pangeran Mangkubumi menuju rumah istrinya di Kaliharjo. Saat sampai di rumah istrinya, Pangeran Diponegoro bertanya kepada Pangeran Mangkubumi, “Paman, dimana istriku?”. Lalu diantarlah Pangeran Diponegoro menuju kamar RA. Maduretno. Disanalah, jenazah istrinya terbaring, kemudian Pangeran Diponegoro duduk di pembaringan dan memangku jenazah istrinya. Pangeran Diponegoro menceritakan bahwa istrinya ibarat orang yang sedang tertidur.
Selanjutnya, Pangeran Diponegoro meminta disiapkan tempat, lalu beliau menyalati istrinya. Setelah perlengkapan pemandian jenazah sudah disiapkan dan batang-batang pisang sudah disiapkan sebagai bantalan jenazah. Tak disangka, Pangeran Diponegoro meminta untuk menyingkirkan batang-batang pisang tersebut. Justru Pangeran Diponegoro memangku jenazah istri tercintanya, lalu para wanita termasuk dua istri lainnya yang bertugas mengalirkan air sedangkan istri Pangeran Mangkubumi yang membersihkan (menggosok) tubuh jenazah istri Pangeran Diponegoro.
Kemudian jenazahnya disemayamkan selama satu malam, Pangeran Diponegoro selalu menemani jenazah istrinya dengan memakai jarik (kain) yang terakhir dipakai istrinya ketika wafat tanpa dicuci terlebih dahulu. Itulah ungkapan sayang Pangeran Diponegoro kepada istri tercintanya itu.
Keesokan harinya, jenazah istri Pangeran Diponegoro diberangkatkan menuju Imogiri dalam suasana hujan yang lebat, atas kehendak Allah jalan-jalan yang dilewati para pengantar jenazah tidak tersentuh air hujan. Air hujan hanya menyentuh kiri-kanan dan belakang para pengantar jenazah, bahkan hujan semakin lebat, matahari tidak nampak namun tidak ada yang kehujanan, bahkan hujan seperti mengiringi dan mengikuti jenazah dan para pengantarnya. Subhanallah…
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Disarikan dari penjelasan Roni Sodewo (Keturunan Pangeran Diponegoro)
Sumber: Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro yang ditulis dengan tulisan Arab Pegon